Unzila Wakil Ketua Bidang Pergerakan Sarinah dan Perlindungan Anak Dewan Pimpinan Cabang GMNI Sumenep. [Khairullah Thofu]
SUMENEP, MASALEMBO.COM- Dewan Pimpinan Cabang (DPC) Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) Kabupaten Sumenep, mendesak pemerintah setempat untuk serius melakukan upaya kebijakan pencegahan kekerasan seksual terhadap anak.
Hal ini tidak terlepas dari peristiwa yang belakangan ini ramai. Dimana, seorang anak usia 13 tahun yang masih duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama (SMP) menjadi korban kekerasan seksual atau pencabulan, oleh oknum Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang menjabat sebagai Kepala Sekolah.
Menurut Wakil Ketua Bidang Pergerakan Sarinah dan Perlindungan Anak Dewan Pimpinan Cabang GMNI Sumenep Unzila mengatakan, peristiwa ini bukan kali pertama terjadi melainkan sudah kejadian yang berulang.
"Maraknya pencabulan di Kabupaten Sumenep, merupakan masalah serius yang perlu mendapat perhatian khusus," tegasnya. Rabu 04/09/2024.
Tingginya kasus pencabulan menunjukkan adanya ancaman serius dan tidak adanya ruang aman bagi anak-anak usia dini, apalagi kekerasan seksual ini acap kali dilakukan oleh oknum pengajar. Tentu, harus ada langkah-langkah kebijakan yang bersifat holistik, sehingga keamanan anak baik di ruang sekolah maupun di ruang-ruang publik dapat realisasikan.
"Perlunya penanganan yang lebih efektif dari pemerintah dan pihak berwenang, termasuk upaya pencegahan, penegakan hukum yang lebih tegas, serta dukungan kepada korban dan masyarakat," katanya.
Unzila melihat terdapat beberapa pihak yang harus diberikan tanggung jawab penuh untuk menyelesaikan persoalan kekerasan seksual terhadap anak diantaranya, Dinas Pendidikan yang memiliki peran penting dalam melindungi siswa dari berbagai bentuk kekerasan, termasuk pencabulan, dengan memastikan lingkungan sekolah yang aman dan menyediakan pendidikan tentang hak-hak anak serta pencegahan kekerasan.
Pada peristiwa tersebut, memperlihatkan bagaimana cermin institusi pendidikan dan tenaga pengajar tidak memiliki, pemahaman dan kesadaran yang sama untuk memberikan ruang aman bagi anak.
"Apalagi korban masih dibawah umur dan para pelakunya sorang ASN pun juga ibu dari korban seorang guru, hal itu sama sekali tidak mencerminkan sikap teladan bagi peserta didik," jelasnya.
Selain itu, dibutuhkan pendampingan terhadap korban dan pemulihan oleh Dinsos P3A. Sebab anak-anak yang menjadi korban sering kali mengalami tekanan psikologis yang harus dipulihkan. Pemerintah harus membuka mata terhadap rangkaian peristiwa kekerasan seksual terhadap anak di bawah umur.
Belajar dari beberapa kasus yang sama sebelumnya. Langkah-langkah pemulihan semacam ini tidak dilakukan secara serius dan terkesan, hanya alakadarnya.
"Jika pemerintah dalam hal ini bupati, wakil bupati, ketua TPKK Kabupaten, Dinsos P3A, dinas pendidikan bahkan DPRD diam, maka ini jelas sebuah pembiaran pada kejahatan perempuan dan anak," ungkapnya.
Upaya pencegahan melalui serangkaian kebijakan, perlu juga dibarengi dengan penegakan hukum untuk memberikan efek jera kepada setiap pelaku kekerasan seksual. Sesuai dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak. Undang-undang ini merupakan perubahan dari Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
"Undang-undang ini mencakup berbagai aspek perlindungan anak, termasuk hak-hak anak, tanggung jawab orang tua, dan pencegahan serta penanganan kekerasan terhadap anak. Tujuannya adalah untuk memastikan bahwa anak-anak mendapatkan perlindungan, perhatian, dan kesempatan yang diperlukan untuk tumbuh dan berkembang dengan baik," urainya.
Pemerintah dan pihak terkait harus mengakhiri peristiwa kekerasan seksual terhadap anak ini di masa yang akan datang. Harapan tersebut kata Unzila, hanya dapat digapai melalui jalan gotong-royong semua elemen terkait, dengan melakukan langkah-langkah konkrit.
"Perlu diingat negara dan pemerintah memiliki tanggung jawab untuk, memeberikan rasa aman bagi anak dalam rangka mempersiapkan generasi penerus bangsa," tandasnya. (THo)