Pesisir Malunda, yang pernah dilanda tsunami 23 Februari 1969, tampak dari perbukitan Ulumandaq. (Foto: Muhammad Ridwan Alimuddin)
Catatan: Muhammad Ridwan Alimuddin
USIA remaja, I Balanda pergi menuntut ilmu. Tujuan utama untuk belajar agama di Pulau Salemo. Pulau tersebut salah satu pulau kecil di Kepulauan Sangkarang atau Kepulauan Spermonde, yang masuk dalam wilayah Kabupaten Pangkajene Kepulauan (Pangkep) sekarang ini. Meski tergolong pulau kecil, Pulau Salemo adalah salah satu pusat perdagangan di Selat Makassar. Pernah diberi gelar Singapura-nya Selat Makassar. Selain sebagai pusat perdagangan, Pulau Salemo juga banyak memiliki ulama kharismatik yang mengajarkan ilmu agama Islam.
Pulau Salemo banyak menghasilkan alumni yang belakangan menjadi ulama yang sangat dihormati, tiga diantaranya adalah Imam Lapeo, Annangguru Saleh, dan Ambo Dalle. Belakangan, beliau bertiga sama-sama pernah menjadi kadi. Meski Imam Lapeo, Annangguru Shaleh dan Ambo Dalle sama-sama pernah memangku jabatan kadi, tapi yang ada kata “kadi” di sapaannya hanyalah H. Muhammad Husain, yakni Pukkali Malunda.
Tidak seperti Muhammad Saleh yang ketika selesai menuntut ilmu di Pulau Salemo maka dia melanjutkan di daerah lain, dalam hal ini ke Mekkah belajar agama Islam lebih mendalam, I Balanda harus segera balik ke Malunda untuk menjadi kadi. Malunda mengalami kekosongan pejabat kadi, dan satu-satunya orang yang bisa menjadi kadi, baik dari segi keturunan maupun keilmuan (memang ada beberapa generasi Malunda belajar ilmu agama tapi tidak ada yang berhasil) adalah Muhammad Husain alias I Balanda. I Balanda hanya tiga tahun belajar di Pulau Salemo.
Menyadari ilmu agamanya masih sangat sedikit, di daratan Sulawesi Pukkali Malunda memperdalam ilmu agamanya. Dia kembali belajar ilmu agama di Mangkoso (Bugis), di Pambusuang dan Lapeo. Kemungkinan besar ilmu tarekat diperoleh Pukkali Malunda diterima di sini, yakni dari K. H. Muhammad Tahir, Imam Lapeo. Begitu gigihnya Pukkali Malunda belajar ilmu agama dari ulama Pambusuang dan dari Imam Lapeo, dari Malunda ke Pambusuang dia selalu menggunakan sepeda padahal jaraknya cukup jauh, lebih 100 km.
Sewaktu menuntut ilmu di Pambusuang, Pukkali Malunda dapat jodoh. Beliau menikah dengan gadis Pambusuang bernama Kappia. Bersama Kappia, Pukkali Malunda memiliki tiga anak, yaitu Bunga Wali, Muhammad Idris dan Munawarah. Usia Kappia lebih pendek daripada Pukkali Malunda.
Kurang lebih 40 hari setelah wafatnya Kappia, Pukkali Malunda melamar Syarifah Mahliah Al Qadri. Dari isteri keduanya tersebut Pukkali Malunda memiliki anak, yaitu Hj. Sy. Adawiah, Sy. Hafsah, Sy. Faridah, S. Zainal Abidin, Hj. Sy. Ruwaedah, dan Hj. Sy. Bintang. Dalam internal keluarga, Pukkali Malunda disapa Kanneq Anggoq atau “si kakek berjanggut”.
Sebagai kadi, tugas utama Pukkali Malunda adalah menyelesaikan beberapa persoalan keagamaan, yang sekarang ini tugas tersebut dijalani oleh Kantor Urusan Agama. Sebab dulu belum ada kantor, maka urusan tersebut dilakukan di kediaman Pukkali Malunda.
Sebagai kadi yang tak bisa melepaskan diri dari kejadian sosial politik di sekitarnya, Pukkali Malunda juga terlibat dalam beberapa peristiawa penting. Apalagi di masa perang kemerdekaan hingga masa revolusi (tahun 40-an hingga akhir 60-an). Pukkali Malunda dikenal sebagai orang yang pertama kali mengibarkan bendera merah putih di Malunda.
Sebab pro perjuangan dan tidak mendukung praktek pemberontak DI/TII (kaum “gurilla”), Pukkali Malunda sering menerima perlakuan yang mengancam nyawanya. Sering dijadikan target pembunuhan, apalagi ketika di Mandar banyak penculikan terhadap lawan politik. Upaya pembunuhan tak pernah berhasil.
Sebagai seorang ulama kharismatik, Pukkali Malunda juga memiliki kekaramahan. Yang paling terkenal adalah kemampuannya mengalihkan serangan “lembong tallu” atau tsunami yang pernah melanda pesisir Mandar. Tsunami yang terjadi pada 23 Februari 1969 tersebut adalah salah satu tsunami besar keempat (1952 - 2004) yang pernah melanda Indonesia. Tinggi gelombang lebih 10 meter.
Sesaat setelah gempa, penduduk Malunda dan sekitarnya mengungsi ke pegunungan. Lain halnya dengan penduduk Malunda, terkhusus lagi keluarga besar Pukkali Malunda, ada yang mengungsi ada juga yang tetap bertahan di Malunda. Apa pasal, pada hari terjadinya gempa salah satu anak Pukkali Malunda, dalam hal ini Sy. Adawiah sedang di-canring (upacara ketika keluarga calon suami membawa bahan makanan ke rumah calon isteri) dan juga persiapan menyambut hari raya Idul Adha.
Untuk melindungi Malunda dan masyarakatnya, Pukkali Malunda bergegas masuk mengambil wudhu untuk kemudian berjalan ke arah pantai. Di badannya menempel baju dan sarung, di atas kepalanya songkok hitam yang dililit handuk. Tiba di pantai, Pukkali Malunda membaca doa untuk kemudian mengibaskan handuknya ketika gelombang tsunami akan menghantam Malunda. Berkat restu Allah SWT, “lembong tallu” tersebut terbelah, ada yang mengarah ke selatan ada yang mengarah ke utara untuk kemudian menghantam kawasan di luar kampung Malunda.
BERSAMBUNG.