Salah satu hunian sementara (huntara) warga Aholeang, Desa Mekkatta, Kecamatan Malunda, Kabupaten Majene. [Gie/masalembo.com]
MAJENE, MASALEMBO.COM - Hari ini genap tiga tahun berlalu, tepatnya tanggal 14 Januari 2021 ketika gempa Magnitudo 5,9 mengguncang Sulawesi Barat. Kejadian pada sore itu membuat panik masyarakat Sulbar khususnya di dua kabupaten bertetangga; Majene dan Kabupaten Mamuju.
Gempa pertama 5,9 Magnitudo membuat sebagian masyarakat mulai takut dan memilih tidur di luar rumah pada malam 14 Januari. Namun sayangnya masih banyak warga tertidur pulas di dalam rumah dan gedung-gedung mereka. Tak menyangka akan terjadi gempa susulan yang justru lebih besar pada dini hari. Gempa Magnitudo 6,2 kembali terjadi tepat pukul 02.28 WITA, mengguncang Kabupaten Majene bagian utara dengan Kabupaten Mamuju hingga ke pusat kota Provinsi Sulbar.
Pusat gempa dicatat berada di 6 kilometer timur laut Kabupaten Majene, tepatnya 2.98 LS-118.94 BT pada kedalaman 10 kilometer. Kecamatan Malunda dan Ulumanda disebut zona paling kencang digoyang gempa, namun korban terbanyak berada di pusat kota Kabupaten Mamuju. Akibat gempa ini, dua dusun di Desa Mekkatta Kecamatan Malunda, yakni Rui dan Aholeang nyaris tanpa bekas. Seluruh rumah warga hancur digulung gempa dan ditelan longsor.
Sementara, berdasarkan catatan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Sulbar, gempa dangkal yang mematikan itu menelan 106 korban jiwa. Sebanyak 96 orang warga Kabupaten Mamuju dan 10 warga Kecamatan Malunda, Majene.
Sejumlah bangunan juga rusak, seperti Maleo Town Square, toko, swalayan, dan Rumah Sakit Mitra Manakarra ambruk akibat diguncang gempa. Termasuk gedung fasilitas pemerintah, yakni bagian depan Kantor Gubernur Sulbar. Ribuan rumah warga rusak, mulai rusak berat, sedang hingga rusak ringan.
Para ahli menganalisa, banyaknya warga kota Mamuju yang meninggal karena mereka masih tidur di dalam rumah atau gedung saat gempa terjadi, sehingga tak dapat menghindar dari reruntuhan bangunan saat guncangan dahsyat terjadi.
Penyintas Masih di Pengungsian
Tiga tahun itu telah berlalu, namun bagi warga Dusun Rui dan Dusun Aholeang di Desa Mekkatta rasanya gempa baru saja kemarin. Bagaimana tidak, sejak mereka kehilangan banyak hal akibat guncangan, tak banyak perubahan atas kehidupan mereka. Rumah kediaman misalnya, hingga kini belum berganti. Sarana pendidikan, rumah ibadah bahkan fasilitas mandi cuci kakus (MCK) masih darurat. Ratusan warga Rui dan Aholeang juga masih tinggal di hunian-hunian sementara yang dibangun atas bantuan relawan maupun inisiatif warga sendiri yang kian didesak waktu untuk berlindung dari terik mentari dan derasnya air hujan.
Salah seorang warga Dusun Rui Desa Mekatta, Suardi mengungkap, saat ini masih terdapat 42 Kepala Keluarga (KK) tinggal di hunian sementara di pengungsian. Itu untuk warga Rui sementara di Dusun Aholeang tak kurang dari 70 KK masih menempati huntara. Total sekitar 112 KK belum memiliki rumah permanen, hanya punya gubuk dan rumah-rumah kecil yang menampung mereka.
"Kalau saya Pak Alhamdulillah sudah punya (rumah) ukuran tiga kali tiga meter, ini saya bikin sendiri," ujar Suardi, Minggu (14/01/2024).
Sejak ditimpa gempa 14 Januari lalu, nasib warga Dusun Rui dan Aholeang memang cukup memprihatinkan. Tak dapat dipungkiri berbagai bantuan datang baik dari pemerintah maupun relawan. Namun sayang hunian tetap bagi ratusan jiwa penyintas gempar Rui-Aholeang itu belum dapat direalisasikan pemerintah. Para penyintas tetap berharap segera memiliki rumah permanen, atau segera mendapat bantuan stimulus perbaikan hunian tetap sebagaimana yang pernah dijanjikan Presiden RI Joko Widodo saat berkunjung ke Sulbar, 19 Januari 2021 silam.
"Kami sudah dikunjungi Pemerintah, sudah beberapa kali tapi tidak ada perubahan, ya tempat kami masih begitu-begitu saja," ungkap Suardi, Kepala Dusun Rui yang tetap berharap bantuan perbaikan rumah dari pemerintah.
Untuk urusan MCK, Suardi menceritakan warga dusunnya masih banyak yang bergantung pada sungai yang berjarak sekira 200 meter dari lokasi pengungsian. Buang air besar masih banyak yang melakukannya di sungai, kendati demikian beberapa orang sudah memiliki sarana MCK, sehingga keluarga terdekat bisa menumpang mandi dan buang air.
Kisah ini sudah berlangsung tiga tahun dan menggoreskan lara serta memantik traumatik bagi penyentasi gempa di Rui-Aholeang. Bahkan sebagian warga pergi nan jauh ke Kalimantan sana. Mereka mencari secerca harapan baru untuk survive dari tantangan hidup usai goyangan gempa melanda mereka.
"Pasca gempa banyak yang pergi, akhir-akhir ini Alhamdulillah sudah ada yang kembali," kata Muhammad Fachri, Relawan Kemanusian yang mengadvokasi penyintas gempa Aholeang-Rui hingga saat ini.
Kepala BPBD Majene Ilhamsyah mengaku, terus memperjuangkan realisasi bantuan stimulus gempa tahap II dari pusat. Namun sayang hingga kini belum ada kepastian kapan dana bantuan itu dicairkan.
"Semua persyaratan sudah kita lengkapi, tapi ini belum ada petunjuk dari pusat untuk langkah selanjutnya," kata Ilhamsyah beberapa waktu lalu.
Nasib malang memang dialami warga Aholeang-Rui, mereka tak satupun menerima bantuan stimulus yang sudah direalisasikan pemerintah pusat pada tahap pertama lalu. Bantuan senilai Rp50 juta bagi pemilik rumah rusak berat, Rp25 juta bagi rusak sedang, dan Rp10 juta bagi rusak ringan hanya tergiang di telinga warga Rui-Aholeang. Berbagai aksi unjuk rasa, audiensi dan dialog dilakukan mahasiswa untuk mendesak pemangku kepentingan mencairkan bantuan tahap kedua yang telah dijanjikan, namun hingga kini belum ada kepastian realisasi.
Gedung Sekolah Masih Rusak
Selain hunian tetap, warga terutama insan pendidikan juga masih ada yang mengeluhkan sarana pendidikan yang belum memadai pasca gempa tiga tahun lalu. Di Kecamatan Ulumanda, masih terdapat beberapa sekolah yang rusak.
Kepala UPTD Pendidikan Kecamatan Ulumanda, Amrin mengatakan, tiga sekolah yang mengalami rusak berat hingga kini belum maksimal perbaikan. Yakni SDN 30 Ba'basondong, SDN 19 Tamerimbi dan SDN 13 Kabiraan.
"Bahkan ada sekolah yang sama sekali belum ada perbaikan, seperti di SD 30 Babasondong itu, gedungnya sudah tidak ada, rata dengan tanah," ungkit Amrin.
Sementara, di SDN 19 Tamerimbi sudah disentuh pemerintah tapi sayang masih jauh dari harapan. Demikian diungkap Juki, Kepala SD yang tak jauh dari titik episentrum gempa itu.
Juki menyebut, dari 6 ruangan kelas yang rusak baru dapat perbaikan untuk tiga ruangan kelas. Sementara 3 ruangan lainnya dan berikut perpustakaan sekolah masih belum dapat digunakan hingga saat ini.
"Sudah beberapa kali juga telah dikunjungi oleh pihak pemerintah daerah, kemarin Pak Kadis juga baru datang kesini, mudah-mudahan segera diperbaiki semua," harap Juki. (Har/red)