Oleh: Exlysia Yuda Pranata
PRESIDEN Jokowi sejak menjabat pada 2014 selalu berambisi meningkatkan pertumbuhan ekonomi nasional dengan jalan memperlancar investasi pada berbagai sektor terlebih pada sektor pemanfaatan dan pengolahan sumber daya agraria. Sebagaimana pernyataan yang disampaikannya dalam rapat koordinasi nasional dan anugerah layanan investasi, di Ballroom Hotel Ritz-Carlton, Jakarta Selatan, Rabu 24 November 2021
“Investasi menjadi jangkar pemulihan ekonomi karena kita terlalu berfokus pada APBN, defisit kita ini, meskipun saya tau Bu Menkeu ini sangat prudent, sangat hati-hati dalam mengelola APBN kita. Oleh sebab itu, yang diluar APBN ini harus digerakkan, kembali lagi, investasi,” ucap presiden, dikutip Kemsetneg, (24/11/ 2021).
Salah satu produk kebijakan dalam hal pengolahan sumber daya agraria yang dikeluarkan oleh Presiden Jokowi adalah tentang hilirisasi nikel dengan membangun 34 smelter. Namun hingga saat ini hanya 4 smelter yang masuk pada kategori pemurnian. Akibat berbagai kebijakan yang membuka lebar-lebar kran investasi. Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mencatat pada periode kepemimpinan Jokowi kasus konflik lahan mengalami peningkatan yang signifikan jika dibandingkan dengan periode SBY sebagai Presiden, yakni pada periode SBY kasus konflik lahan sebanyak 1.308 kasus dan menjadi 2.047 kasus pada periode Jokowi atau naik dua kali lipat. Sektor perkebunan menjadi penyumbang konflik paling tinggi yakni 729 kasus, diikuti sektor properti 499 kasus, pertanian 145 kasus, kehutanan 118 kasus, pertambangan 117 kasus, pesisir dan pulau-pulau kecil 60 kasus serta, fasilitas militer 10 kasus.
Greenpeace Indonesia mencatat laju deforestasi selama periode Jokowi mencapai 2,13 ha atau setara dengan 3,5 kali luas pulau Bali.
Salah Tafsir Agraria dan Konflik Agraria
Agraria pada dasarnya memiliki arti yang sangat luas dan kompleks bukan hanya berarti sekedar tanah seperti yang tercantum dalam TAP MPR RI No.IX/MPR/2001 tentang pembaruan agraria dan pengelolaan sumber daya alam.
Pada pasal 5 butir b TAP MPR RI No.IX/MPR/2001 berbunyi pembaruan agraria hanya terbatas pada penataan ulang penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah-tanah, sehingga jelas makna ‘agraria’ direduksi sampai hanya sekedar tanah.
Asal-usul istilah agraria secara etimologi berasal dari bahasa latin ‘ager’ yang berarti lapangan, pedusunan, wilayah (tanah negara), olehnya arti agraria mustinya bukan hanya menyangkut soal tanah saja sebab arti agraria sebagai pedusunan dan wilayah memiliki cakupan yang luas bukan hanya berkonotasi pada tanah, tetapi juga segala yang tercakup didalamnya. Di pedusunan terdapat berbagai macam tumbuhan air, sungai, mungkin juga tambang, perumahan dan termasuk didalamnya kelompok manusia atau masyarakat serta hubungannya dengan lahan atau tanah.
Dalam UUPA 1960 tafsiran tentang agraria beserta segala pengaturan pemanfaatan lahan sudah sangat tepat misalnya bunyi pasal 2 ayat 2 butir b yang mengatur bukan hanya tentang hak guna lahan tetapi juga hubungan hukum antar subjek yang berhubungan langsung dengan sumber daya alam, juga pasal 7 yang berbunyi agar tidak merugikan kepentingan umum setiap pemilikan dan penguasaan lahan yang melampaui batas tidak diperkenankan.
Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mencatat 68 % tanah yang berada diseluruh daratan Indonesia saat ini dikuasai oleh 1% kelompok pengusaha dan badan korporasi skala besar sebut saja Bayan Resources yang mengantongi 16 izin usaha pertambangan dengan luas konsesi mencapai 126.293 hektare, dan 32% sisanya diperebutkan 99% masyarakat yang tersisa, kondisi tersebut diperparah oleh kegiatan ekspansi bisnis ataupun pembangunan skala besar. Hal tersebut pada gilirannya memunculkan fenomena meningkatnya jumlah petani gurem (petani yang menguasai lahan kurang dari 0,5 hektare), akibat ketersediaan lahan yang sangat minim banyak petani yang akhirnya beralih profesi menjadi buruh kasar dengan upah murah.
Sekjen KPA juga mengatakan selama pandemi terdapat setidaknya 35 konflik agraria yang menewaskan dua petani diwilayah konflik agraria.
“Ada 35 letusan konflik agraria yang terjadi selama masa pandemi, 39 kasus kriminalisasi dan intimidasi, serta dua petani tewas di wilayah konflik agraria karena mempertahankan wilayah hidupnya,” kata Dewi (Sekjen KNPA), dikutip CNN Indonesia, (24/9/2021).
Konsentrasi penguasaan tanah yang terjadi membentuk jurang ketimpangan yang sangat dalam. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan indeks rasio gini Indonesia per September 2021 mencapai 0,381 yang menandakan lebarnya jurang ketimpangan antara orang kaya dan miskin.
Ancaman Konflik Agraria Sulawesi Barat
Selama periode kepemimpinan Jokowi konflik agraria terkonsentrasi pada beberapa wilayah kepulauan Indonesia.
Dipulau Jawa misalnya warga Wadas melawan rencana pemerintah dalam membuka penambangan quary yang materialnya diperlukan untuk membangun bendungan Bener salah satu Proyek Strategis Nasional (PSN) yang dikerjakan oleh PT. Brantas Abipraya (persero), hingga konflik terbaru yang terjadi di kepulauan Rempang-Batam akibat rencana pengembangan proyek Eco city yang juga masuk dalam daftar PSN seperti tertuang pada Permenko RI No. 9 tahun 2023, dengan luas 7.572 hektare yang konsesinya di pegang oleh PT. Makmur Elok Graha, kawasan Rempang juga akan menjadi lokasi pabrik kaca terbesar kedua dunia milik perusahaan China Xinyi Group investasi proyek tersebut diperkirakan mencapai Rp174 triliun.
Dalam Permenko No. 9 tahun 2023 hanya terdapat satu PSN yang berada di Provinsi Sulawesi Barat yakni pembangunan proyek bendungan Budongbudong, meskipun demikian hal tersebut tidak mengecilkan ancaman akan terjadinya konflik agraria di Sulbar. Dalam Kepmen ESDM No. 101 tahun 2022 Sulbar ditetapkan sebagai wilayah pertambangan yang terdiri atas wilayah usaha pertambangan dan wilayah pencadangan negara atau dapat disebut Sulbar telah menjadi suatu wiayah pencadangan tambang nasional.
Pada peta yang juga terdapat dalam Permenko No. 9 tahun 2023 wilayah usaha pertambangan terdapat di 6 kabupaten yang berada di Sulbar sedangkan untuk wilayah pencadangan nasional terdapat 3 kabupaten yakni Mamasa, Mamuju dan Mamuju Tengah. Pada beberapa kota/kabupaten konflik agraria telah terjadi, di Mamasa pada tahun 2020 aliansi pemuda dan mahasiswa melakukan aksi penolakan terhadap aktivitas tambang tanah jarang yang akan dilakukan di Kecamatan Aralle, Mambi dan Buntumalangka.
Di Majene demo penolakan aktivitas pertambangan terjadi di Desa Banua Sendana yang dilakukan oleh warga dan mahasiswa yang tergabung dalam aliansi tolak tambang batu gajah. Berbagai kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah justru terbukti menuai konflik horizontal maupun vertikal, seperti dua contoh konflik yang telah disebutkan, pun mestinya proses industrialiasasi yang dilakukan pemerintah, khususnya untuk wilayah Sulawesi Barat paling besar bergerak pada bidang pertanian, mengingat jumlah masayarakat yang bekerja pada bidang pertanian di Sulawesi Barat mencapai angka 58% (dikutip berita.sulbarprov.go.id).
Selain menjadi wilayah pencadangan tambang nasional Sulbar dan enam pemerintah provinsi lainnya menjadi salah satu daerah penyangga PSN Ibu kota nusantara yang berada di Kalimantan, lebih khusus Sulbar akan menjadi pemasok material kebutuhan pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN), sebagaimana isi pakta komitmen, Sulbar bersama enam provinsi lainnya menjadi pemasok material pembangunan IKN. Akmal Malik Dirjen Kemendagri sekaligus Pj Gubernur Sulbar menantangani pakta komitmen yang digelar di Mamuju pada Senin 20 Juni 2022. Hal ini akan menjadi dasar yang kuat untuk mengeksploitasi sumber daya alam Sulbar dalam skala besar dan akan memperlebar ancaman konflik agraria.
Selain peraturan tentang Sulbar sebagai wilayah pencadangan nasional, konflik agraria yang telah terjadi hingga Sulbar sebagai salah satu daerah penyangga PSN IKN, hasil ekspedisi Gerakan Pembaharu Ulumanda (GAHARU) pada 24 November 2020 yang menelusuri potensi komoditas dan ancaman konflik agraria di daerah pedalaman Ulumanda menerangkan bahwa ancaman konflik agraria sangat dekat akibat tapal batas kawasan hutan di Desa Tandeallo. Pemasangan tapal batas kawasan hutan pertama kali dilakukan pada tahun 1990 namun belum merambah lahan produktif warga. "Tiga bulan sebelum ekspedisi dilakukan terjadi pemasangan tapal batas yang baru, lahan produktif yang sedang dikerjakan kurang lebih 40 KK masuk dalam kawasan hutan lindung,” ucap Aco Nursyamsu, tim ekspedisi GAHARU, 15 September 2023. (*)