SUMBAWA, MASALEMBO.COM - Nelayan Sumbawa yang tergabung dalam Paguyuban Nelayan Sejahtera Pulau Bungin, Paguyuban Nelayan Samudera Bahari Pulau Medang, Paguyuban Nelayan Lunyuk Bangkit dan Paguyuban Nelayan Kompresor Snorkeling (PNKS) mewakili seluruh anggota menyesali sikap pasif Ketua DPRD Sumbawa dan Bupati Sumbawa.
"Awal Mosi Tidak Percaya ini yakni tidak mau atau acuh tak acuh terhadap masalah nelayan yang ditangkap aparat Lantamal VII Kupang, NTT. Ketua DPRD Sumbawa juga berbohong, yang berjanji mendatangkan tim ke Labuhan Mapin dan koordinasi Pemda Sumbawa." Kata Wahyu Alamsyah Sekjend Front Nelayan Indonesia (FNI)
Apalagi Pemda Sumbawa tambah tak punya kemampuan urus nelayan. Para politisi, khusus PDIP sarang pendukungnya di Labuhan Mapin Sumbawa. Nelayan puluhan tahun dukung rezim PDIP. Tetapi, tak pernah sedikit pun membantu nelayan." Lanjutnya
Sementara keterangan dari Juragan yang merupakan korban dari penangkapan Lantamal VII Kupang, NTT mengatakan "Pemda Sumbawa yang sekarang, Bupati adalah kader Golkar, sama juga. Puluhan tahun di dukung oleh nelayan di kecamatan Alas dan Alas Barat. Tetapi, tak punya kemampuan akomodir kepentingan nelayan sebagai pengabdian. Ditangkapnya Nelayan oleh Lantamal VII Kupang, Bupati Sumbawa seolah buta, tuli dan tak ada rasa simpatik." Tegasnya Jumadi kepada awak media saat dikonfirmasi di Kupang, NTT, 24/11/23
Begitu juga, Tison Sahabuddin berpendapat "mereka sudah tau masalah ini, nelayan ditangkap sudah 3 bulan ini, belum ada ada upaya pembebasan. Mestinya, DPRD dan Bupati Sumbawa memiliki sikap sigap, simpatik, bertindak dan bertanggung jawab terhadap warganya yang ditangkap." Kata Tison Bungin Ketua Paguyuban Nelayan Sejahtera Pulau Bungin pada Jum'at 24/11/23 saat di tanyai awak media.
Lebor Nugroho yang kini Pemerhati Kebudayaan Sumbawa di Bali ikut memberi reaksi atas sikap Ketua DPRD dan Pemda Sumbawa yang tak responsif, tersebut. "Ini yang kita pertanyakan, selama ini ada digroup LBH Nelayan Indonesia, bupati dan Ketua DPRD dimasukan. Supaya dapat memahami masalah. Dikonfirmasi dam diminta juga agar proaktif merespon masalah penangkapan nelayan di kupang." Kata Lebor Nugroho kepada media (23/11/23)
Kemana DPRD dan pemda Sumbawa. Kepada warganya sendiri ngak ada rasa keperdulian nya sama sekali.
Kalaupun mereka tidak bisa hadir secara lansung untuk membantu saudara-saudara kita yang sedang dalam masalah seperti ini, paling tidak hadirlah memberikan saran agar Pemda dan DPRD bisa duduk bersama lakukan komunikasi dengan pemerintah Provinsi NTT dan Pemda Kota Kupang sebagai bentuk keperdulian mereka terhadap apa yang menimpa warganya di NTT sana." Lanjut Lebor Nugroho
Bupati dan Ketua DPRD Sumbawa ada di dalam group LBH Nelayan Indonesia untuk bersama - sama memikirkan jalan keluar masalah tertangkapnya nelayan ini. Namun, keduanya cuma diam seperti patung. Sungguh beda sekali Pemda kita dengan NTT. Pemda NTT begitu gercep dan antusias nya dalam memberi perlindungan dan pendampingan ketika ada warga nya yang terkena masalah di luar daerah mereka. Lah, Pemda dan DPRD kita jangankan mau hadir seperti itu, memberikan saran dan solusi pun gak ada yang mau turun tangan." Tutup Lebor Nugroho
Nelayan berangkat dari tanggal 30 Agustus 2023 menuju lokasi Selatan Nusa Tenggara Timur (NTT). Kapal dinyatakan layak melaut. Dokumen kapal lengkap yang diberikan pihak Syahbandar dan pemerintah. Sebelumnya, nelayan menyiapkan perbekalan sekitar ratusan juga dalam bentuk bahan pokok (persediaan).
Berangkat sejumlah 6 kapal dengan Anak Buah Kapal (ABK) sekitar 61 orang. Captain sekaligus juragan ada 6 orang. Semua terhitung 67 orang.
Kemudian, pada tanggal 07 September 2023 pada pukul 09.22 pagi, nelayan ke 67 orang ditangkap Lantamal VII Kupang, NTT di lokasi daerah dekat Pulau Nekliu. Sala satu alasan, Lantamal VII melihat Pergerakan kapal dari menara sinyal. Kemudian, dilakukan penyergapan dan penangkapan.
Pemeriksaan dilakukan, Lantamal VII tidak menemukan barang bukti berupa hasil tangkapan (sesuai BAP). Karena memang nelayan belum melakukan penangkapan Lobster. Lantamal VII hanya melihat kompresor diatas kapal tersebut (Sesuai Hasil BAP).
Perdebatan antara nelayan dengan aparat Lantamal VII terjadi alot. Ya, mau tak mau, nelayan pasrah dalam pemeriksaan dan penggeledahan saat di dekat Pulau Nekliu. Lantamal VII AL memvonis dokumen tidak lengkap. Padahal lengkap. Akhirnya, kapal dan nelayan ke 67 orang tersebut, dibawa ke Pelabuhan Lantamal VII Kupang, NTT.
Namun, setelah tiba di Pelabuhan Lantamal VII, dokumen pun diperiksa ulang satu per satu. Ternyata, dokumen nelayan seperti SIPPI, SIKPI, SLO, hingga dokumen pembayaran pajak dinyatakan lengkap. Namun, aparat tidak mau melepas. Tetap tahan nelayan dengan alasan Kompresor yang dijadikan barang bukti.
Aparat Lantamal VII membiarkan nelayan terpenjara dikapal sejak 07 September, Oktober hingga November ini. Selama kurun waktu 3 bulan berjalan. Lantamal VII tidak perhatikan kondisi dan situasi, tak ada prinsip perikemanusiaan yang adil dan beradab. Sejumlah 67 orang tersebut, dibiarkan di Pelabuhan Lantamal VII tanpa proses hukum yang jelas.
Per 15 November 2023, Penyidik Lantamal menetapkan 6 tersangka. Mestinya, 67 tersangka. Berdasarkan berita kompas: "Lantamal meminta 61 orang pulang ke Sumbawa. Namun, nelayan menolak pulang." Ternyata, Lantamalnya lakukan kebohongan publik, bahwa keterangan nelayan tak diberikan waktu untuk pulang atau tak pernah nelayan menolak pulang. Bahkan, Lantamal sendiri melarang nelayan keluar masuk pelabuhan, apalagi pulang. Sekedar membeli bahan pokok untuk makan, minum saja. Pihak Lantamal larang. Apalagi pulang ke Sumbawa."
Sementara kebutuhan pangan: sembako berangkat selama 4 bulan penuh habis ludes dalam sekejap karena harus makan, mandi, serta kebutuhan hidup lainnya. Padahal bahan pangan yang nelayan persiapkan merupakan pinjaman (hutang) dari bank, dana LPMUKP KKP, dan dana tengkulak lokal) yang bekerjasama dengan nelayan. Ditambah, mereka berdesak-desakan tidur diatas kapal, selama 3 bulan.
Lantamal VII Kupang, NTT sangat tidak prikemanusiaan. Aparat Lantamal VII ini tak pertimbangkan kehidupan nelayan. Psikologis nelayan selama 3 bulan mengalami sakit diare, pusing dan tekanan kejiwaan sangat berat. Lantamal VII telah melanggar prinsip-prinsip hak asasi manusia.
Lantamal VII membiarkan nasib keluarga: anak istri dan dapur rumah tangga nelayan tidak mengepul. Lantamal VII telah bertindak diluar norma - normal keajegan dan norma nilai yang menjamin kesejahteraan nelayan.
Lantamal VII telah secara sengaja menghilangkan hak pendidikan anak - anak nelayan dan memangkas waktu nelayan harus mendapat pendapatan demi ekonomi keluarga nelayan.
Lantamal VII pun tidak pernah perhatikan kesempatan waktu nelayan untuk beribadah, beristirahat, makan, minum, mandi diatas kapal dipelabuhan itu. Padahal kondisi sembako, dan bahan pangan lain sudah habis. Mereka pun, tak diberikan waktu untuk keluar berbelanja bahan pokok.
Walaupun pada awal November 2023 ini, mendapat respon dari Dinas Kelautan dan Perikanan dengan memberikan bantuan berupa beras 250 kg, indomie 2 dus, biscuit 2 dus minyak dan lainnya.
Harus menjadi perhatian semua pihak dan pemerintah. Konon, Lantamal VII dalam dugaan mendapat pesanan dari Bohir (tengkulak) yang bersaing dalam usaha untuk menangkap nelayan. Padahal, nelayan, ABK dan juragan hanya sekedar mencari makan, nelayan kurang memahami apa yang boleh dan tidak boleh menurut aturan hukum yang berlaku.
Dalam pemeriksaan, Penyidik Lantamal VII juga memaksa nelayan tanda tangan semua hal yang dituduhkan. Termasuk melarang nelayan untuk mencari pendampingan hukum.
Namun, aparat bekerja menangkap nelayan di duga lakukan operasi karena pesanan Bohir (tengkulak). Hal ini sangat disayangkan. Mestinya, aparat memberi pemahaman hukum tentang kelautan dan perikanan maupun peraturan perundang-undangan yang berlaku. Padahal Lantamal VII sendiri, bekerja sesuai tugas dan peran mengawasi Zona Ekonomi Eksklusif antar negara. Bukan menangkap nelayan tradisional.
Perjalanan waktu 3 bulan, nelayan hanya dijanjikan untuk bebas. Berulang kali Lantamal VII berjanji bebaskan nelayan. Namun pembohongan yang terjadi.
Dokumen Berita Acara Pemeriksaan (BAP) tertulis "Untuk Keadilan" tapi perlakuan terhadap nelayan sungguh ketidakadilan. Penuh tipu muslihat yang dilakukan.
Lantamal VII melakukan BAP ala kadarnya. Secara hukum tidak terpenuhi. Dokumen BAP pertama, dikembalikan oleh kejaksaan tinggi Kupang, NTT. Begitu juga hasil perbaikan BAP kedua dan ketiga di tolak dan dikembalikan Kejaksaan.
Per 18 November 2023 pelimpahan berkas kembali kepada kejaksaan. Juga dipaksakan. Kompressor yang dijadikan barang bukti, juga di angkut. Terkesan dipaksakan. Kenapa? karena unsur pidananya tidak terpenuhi karena tidak memiliki 2 alat bukti yang sah. Dalam BAP hanya kompresor dijadikan alat bukti.
Pada Minggu awal November ditetapkan sebagai tersangka. Lalu, tanggal 18 November 2023 barang bukti berupa kompressor diangkut dari pelabuhan ke kantor Kajati NTT. Sekaligus pemeriksaan awal para tersangka. Pemeriksaan dari Pukul 14.00 hingga malam hari.
Nelayan yang menjadi tersangka tidak ditahan dan dikembalikan ke Pelabuhan Lantamal VII Kupang, NTT untuk istirahat. Nelayan saat pemeriksaan, tak ada dokumen yang ditanda tangani di kejaksaan. Ini sesuatu yang janggal.
Dari sekian Jam, Hari, Minggu dan Bulan dari proses settingan Drama Drakor Hukum Lantamal VII ini, membuat semua pihak bertanya. Kalau tak memiliki dua alat bukti yang cukup. Maka mestinya para nelayan yang tersangka semuanya itu, bisa dipulangkan atau dibebaskan untuk membawa kapalnya keluar Pelabuhan Lantamal VII.
Upaya pembebasan dilakukan paguyuban - paguyuban nelayan di Sumbawa melakukan lobi, advokasi, termasuk melaporkan Lantamal VII ke DPR-RI, Komnas HAM, LPSK, KPK dan POMAL TNI AL.
Wahyu Alamsyah Sekretaris Jenderal Front Nelayan Indonesia (FNI) juga kritik keras sikap Pemda dan DPRD Sumbawa sehingga nelayan akan lakukan mosi tidak percaya dengan berkirim surat kepada Menteri Dalam Negeri serta akan disertai demonstrasi (Mimbar Bebas) besar - besaran dimasa mendatang agar kedepan nelayan tidak lagi menjadi komoditas politik kepentingan mereka semata. Tetapi benar - benar berpihak pada nasib nelayan," tutup Wahyu. (Tis)