DALAM terminologi Ilmu Politik terdapat istilah Gerrymandering yang mengacu pada nama gubernur Massachussets Elbridge Gerry (1810-1812) sedangkan kata mandering sendiri mengacu pada ikan salamander. Istilah Gerrymandering sendiri kemudian akrab diartikan sebagai upaya merekayasa daerah pemilihan (dapil) sehingga pemilu yang dilakukan dapat menguntungkan salah satu parpol atau kandidat. Hal tersebut dilakukan dengan cara memusatkan banyak pemilih yang merupakan pendukung parpol tertentu dalam satu dapil sekaligus menyebar pemilih yang akan merugikannya dalam banyak dapil. Tujuannya agar pemilih yang tidak menguntungkan perolehan suara parpol tersebut suaranya menjadi tidak berguna karena akan sulit mensolidkan dukungan di dapil yang terlanjur dibuat secara manipulatif.
Berdasarkan UU Pemilu yang baru, KPU RI diamanahkan untuk merancang dapil untuk pemilihan anggota DPRD Provinsi dan Kabupaten. Oleh karena itu, sebelum mematangkannya menjadi sebuah peraturan baku, KPU RI meminta pengkajian dari KPU Provinsi dan Kabupaten alternatif-alternatif yang mungkin dalam pendapilan menuju pemilu 2024 mendatang. Hal tersebut penting dilakukan sebab isu lokal yang dimiliki tiap kabupaten mempunyai karakteristik masing-masing dan hanya mungkin bisa diterjemahkan dengan baik jika partisipasi stakeholder di tingkat kabupaten pun dimaksimalkan.
Alternatif Pendapilan
Idealnya sebuah dapil didesain untuk lebih menguatkan konsolidasi demokrasi dan menghadirkan wakil rakyat yang sesuai dengan harapan rakyat banyak. UU Pemilu yang ada sendiri mengamanahkan bahwa dapil magnitude yang mungkin untuk kursi DPRD Kabupaten adalah berkisar 3-12 kursi per dapil. Hal tersebut membuka peluang di daerah dapat memilih apakah akan mempertahankan dapil yang sudah berlaku di pemilu 2019 silam atau melakukan perubahan. Perubahan ini pun alternatifnya apakah akan memperbanyak jumlah dapil yang artinya kursi di tiap dapil pun akan lebih sedikit atau mempersedikit jumlah dapil yang otomatis kursi di tiap dapil pun akan lebih banyak. Semua mempunyai konsekuensi logis, yang pasti dalam pendapilan ini KPU taat pada asas-asas yang telah ditetapkan dalam UU Pemilu. Asas tersebut yaitu kesetaraan suara, ketaatan pada sistem pemilu yang proporsional, proporsional, integralitas wilayah, coterminous, kohesivitas dan kesinambungan.
Alternatif mempersedikit dapil tentu akan membuat suara terbuang dalam pemilu lebih sedikit karena perengkingan yang ada digunakan maksimal sebanyak jumlah kursi yang diperbutkan dalam suatu dapil. Berbeda halnya dengan alternatif untuk memperbanyak dapil maka memungkinkan suara rakyat yang terbuang lebih banyak sehingga membuat para wakil rakyat yang memperoleh kursi kemudian tidak merepresentasikan suara mayoritas dari masyarakat. Misalnya pada mekanisme konversi suara untuk anggota DPD RI yang tiap provinsi hanya mempunyai jatah 4 kursi. Tidak tertutup kemungkinan akumulasi suara dari 4 anggota DPD RI yang terpilih di sebuah provinsi suaranya jauh lebih sedikit dibanding dengan akumulasi jumlah suara anggota DPD RI yang tidak terpilih yang jumlahnya belasan hingga puluhan daftar calon.
Hanya saja walaupun alternatif mempersedikit jumlah dapil lebih dapat merepresentasikan suara mayoritas karena akan sedikit suara yang terbuang bukan berarti tanpa kelemahan-kelemahan. Misalnya dengan alternatif tersebut lebih berpotensi menghadirkan “caleg bumper” dalam parpol yang disajikan di surat suara. Hal tersebut karena alternatif mempersedikit dapil otomatis membuat jumlah kursi yang diperbutkan dalam suatu dapil akan banyak. Akibatnya parpol yang awalnya hanya menargetkan satu, dua atau tiga kursi memilih untuk memaksimalkan daftar caleg yang banyak menyesuaikan dengan alokasi dengan besarnya jumlah kursi yang diperebutkan dalam dapil tersebut.
Adapun alternatif memperbanyak jumlah dapil yang otomatis membuat jumlah kursi dalam sebuah dapil semakin sedikit. Selain membuat suara yang terbuang semakin besar, alternatif ini bukan berarti tidak memberikan dampak positif bagi demokrasi. Misalnya, jika demokrasi di Indonesia selalu mendorong agar ruang partisipasi politik semakin besar bagi perempuan, maka salah satu bentuk rekayasa politik yang dapat diambil adalah dengan mempersedikit jumlah kursi dalam tiap dapil. Dengan pilihan 3 atau 4 kursi yang diperebutkan dalam satu dapil, didukung regulasi pemilu yang ada maka akan memaksa parpol untuk menempatkan jumlah perempuan dalam daftar caleg sebanyak paling tidak 50% dari jumlah total calegnya jika parpol ingin memaksimalkan jumlah daftar calegnya.
Selain mendorong partisipasi perempuan dalam politik, alternatif memperbanyak dapil juga akan mendorong kontestasi politik semakin keras. Kontestasi keras yang bukan hanya terjadi antar parpol karena perubahan mekanisme konversi suara menjadi kursi dari sistem kuota hare menjadi sainte lague tapi juga di internal kader parpol sendiri. Jumlah kursi yang sedikit dalam suatu dapil akan membuat daftar caleg yang dapat disajikan tiap parpol pun akan sedikit sehingga parpol akan semakin selektif dalam melakukan proses rekrutmen.
Profesionalisme Parpol Mengelola Konflik
Tuntutan akan semakin selektifnya parpol dalam proses rekrutmennya mengarahkan parpol agar dapat lebih profesional dalam mengelola konflik internalnya. Jika tidak, maka konflik internal dalam proses rekrutmen politik tersebut akan mengakibatkan perpecahan yang akan berimbas pada elektabilitas parpol nantinya. Oleh karena itu paradigma yang harusnya dibangun dalam mengelola potensi konflik tersebut adalah dengan berusaha membuat proses rekrutmen dalam parpol lebih inklusif. Dengan proses yang lebih inklusif ini maka ada garansi bahwa seleksi yang berjalan di internal parpol berproses secara objektif dan rasional.
Terkait proses rekrutmen politik yang inklusif, realitas politik yang lazim dilakukan menunjukkan 2 bentuk, misalnya dengan proses konvensi ataupun dengan proses primary election di internal parpol. Model konvensi dengan membuka ruang rekrutmen politik kemudian bakal calon diseleksi kompetensi dan kelayakannya berdasarkan standar yang sudah ditetapkan. Adapun model primary election adalah dengan membuat mekanisme pemilu di internal parpol yang mana setiap bakal calon berebut suara para anggota di internal parpolnya. Kemudian dari proses pemilu itu peraih suara terbanyak dalam internal parpol tersebut yang kemudian diputuskan sebagai calon-calon yang disajikan oleh parpol untuk rakyat banyak.
Kedua model inklusif di atas diharapkan selain dapat meredam konflik di internal parpol, tentu lebih mendorong ruang partisipasi yang lebih besar demi proses demokrasi yang lebih berkualitas. Calon-calon yang dimunculkan berasal dari proses yang objektif dan rasional akan menjadi daya tarik tersendiri bagi rakyat dalam menentukan pilihannya bagi parpol. Olehnya, semakin profesionalnya kepengelolaan parpol juga sangat ditentukan oleh lingkungan politik yang diciptakan oleh negara. (*)