MAJENE, MASALEMBO.COM - Beginilah nasib ratusan jiwa di sebuah pelosok pulau Sulawesi. Tepatnya di wilayah Desa Panggalo, Kecamatan Ulumanda, Kabupaten Majene, Provinsi Sulawesi Barat.
Sejak banjir bandang merobohkan jembatan gantung mereka beberapa waktu lalu, ratusan warga di dua dusun di Desa Panggalo, Kecamatan Ulumanda itu kini hidup dalam bayang-bayang kepiluan. Mereka harus bertaruh nyawa hanya untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Tak ada pilihan kecuali harus berenang lalu berjalan kaki puluhan kilometer melintasi gunung guna mendapatkan bahan-bahan sembako.
"Kalau mau beli bahan sembako kita harus menyebrang sungai, berenang, berjalan kaki seperti di tahun 90-an silam," kata Irmayadi, seorang guru PNS yang menetap di Dusun Peledoang, Desa Panggalo, Kecamatan Ulumanda.
Dua dusun itu kini benar-benar terisolasi; Panggalo dan Dusun Peledoang. Irmayadi yang sebenarnya warga dari desa lain namun sudah 6 tahun menjadi pengajar di sana terpaksa harus melewati hari-hari yang serba sulit. Pun ratusan warga lainnya yang tinggal di pengunungan arah timur jalan Trans Sulawesi Poros Majene-Mamuju itu.
Dusun Panggalo dan Dusun Peledoang memang dua kampung bertetangga, tak jauh dari bibir sungai Manyamba. Sungai Mayamba ini satu dari sekian sungai besar di wilayah Sulawesi Barat. Berhulu di daerah Tutar Kabupaten Polewali Mandar dan berakhir di Kecamatan Tubo Sendana, Majene. Maka dikenal juga dengan sungai Tubo. Sungai Mayamba atau sungai Tubo juga menampung air sungai Maitting yang berhulu di Kecamatan Ulumanda. Dua sungai besar itu menyatu membuat DAS Tubo yang cukup luas dan panjang. Cukup terkenal di jazirah Mandar, Sulbar.
"Kalau tidak salah di sini kurang lebih ada 200 rumah. Dua kampung yang terpisah tapi penduduknya sama, satu rumpun keluarga," ujar Irmayadi menjelaskan tentang dua dusun terisolasi di sudut selatan Kecamatan Ulumanda itu, Selasa (13/12/2022)
Daerah ini memang masuk wilayah administrasi Kecamatan Ulumanda, namun lebih dekat ke Tammero'do Sendana. Letaknya yang jauh dari pusat Kecamatan Ulumanda membuat kampung ini belum teraliri listrik PLN. Warga masih mengandalkan PLTS dan lampu atau pelita minyak untuk penerangan pada malam hari. Ada juga yang memakai genset terutama di momen-momen tertentu untuk penerangan.
Warga Panggalo, Sumidin, menceritakan, sejak jembatan gantung yang satu-satunya sarana penyebrangan warga Panggalo-Peledoang terputus pada Jumat, 18 Nopember 2022 lalu akibat disapu banjir bandang kini masyarakat memarkir kendaraan roda dua miliknya. Tak mungkin bagi mereka menyebrangkan kendaraannya melewati air sungai yang rata-rata setinggi dada orang dewasa. Itupun kalau tidak sedang musim hujan, sebab bisa jauh lebih deras dan lebih dalam lagi saat hujan datang. Peluang untuk bisa melintaskan kendaraan hanya jika kemarau panjang benar-benar terjadi. Tapi belakangan ini justru hujan seolah tak memiliki batas waktu jatuh ke bumi Panggalo.
"Kita kembali seperti dulu saat jembatan belum dibangun, berenang kalau mau menyebrang. Motor tidak bisa lewat kecuali ada orang yang nekat bisa menyebrangkan motornya tapi harus ramai-ramai memikul," kata Sumidin, warga Dusun Panggalo yang juga berprofesi sebagai guru honorer di sana. Beberapa guru di Panggalo-Peledoang juga dari desa atau kampung lain.
Hal paling sulit kata Sumidin ketika hendak menjual hasil kebun mereka. Warga harus bertaruh nyawa melewati arus sungai agar hasil kebun tidak basah sehingga tetap laku di pasaran. Mereka membawa hasil-hasil kebun itu ke pasar di daerah Pellattoang, Kecamatan Tammero'do Sendana.
Panggalo dan Peledoang memang punya warga nyaris 100 persen bergantung pada pertanian, diselingi memelihara ternak sapi. Hasil-hasil kebun mereka berupa kopi, kakao, dan padi gunung sebagai bahan makanan pokok. Mereka berladang di lereng-lereng gunung tak jauh jari kampung mereka di pinggiran sungai besar Manyamba. Warga juga memelihara ternak sapi dan yang terkenal adalah ayam panggalo. Ukurannya besar-besar dan tinggi. Ayam ini punya cerita mistik, konon dia ayam manurung atau turun dari langit. Entahlah.
Sumidin yang tenaga honorer salah satu SD dan SMP Satap di Panggalo sudah laiknya tokoh masyarakat setempat. Setidaknya dia adalah tokoh pemuda. Dia menikah dengan warga di sana sehingga sudah menetap meski dia dari di desa lain yang juga masih wilayah Kecamatan Ulumanda seperti halnya Irmayadi.
Cerita Sumidin, saat jembatan gantung satu-satunya media penyebrangan itu masih utuh, warga bisa saja naik motor ke pasar Pellattoang walau harus berjibaku dengan rusaknya akses jalan sekira 30 kilometer untuk sampai ke pasar. Setidaknya masih bisa naik motor, tapi kini tak ada lagi jembatan gantung yang bisa menolong.
"Jembatan itu dibangun 6 tahun lalu, masih kepala desa lama," tutur Sumidin.
Pada Jumat 18 Nopember lalu hujan deras yang membuat sungai Mayamba meluap luar biasa. Luapan air menyapu bersih jembatan yang dibangun Pemerintah Provinsi Sulbar itu. Air bak tumpah ruah ini juga menghanyutkan puluhan rumah warga Tatibajo dan Sambalagia di Desa Salutambung dekat ke muara sungai di Kecamatan Tubo Sendana sana. Catatan dari Pemerintah setempat dilaporkan 22 rumah hanyut dan puluhan lainnya rusak akibat banjir bandang saat itu.
Kini, warga Panggalo dan Peledoang hanya bisa pasrah. Berharap Pemerintah Provinsi atau Kabupaten Majene membangun kembali jembatan gantung penyebrangan mereka.
Kepala Desa Panggalo Palimbuan mengakui, telah memasukkan pembangunan jembatan itu di Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM). Ia juga akan mengusulkan lewat Musrenbang dan berharap ada perhatian dari Pemerintah untuk membantu pembangunan jembatan di desanya itu.
"Tahun lalu kita sempat rehab lantainya, tapi ya sudah hanyut semua, jembatannya rusak total," ungkap Palimbuan. (*)