Ulfah Mawardi (merah) saat berbicara di FGD Pencegahan dan Penanganan Perkawinan Anak di Sulbar, Selasa (18/10/2022). [Ist/Masalembo.com] |
MAMUJU, MASALEMBO.COM - Tingginya angka perkawinan anak di Provinsi Sulawesi Barat menjadi perhatian Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) RI. Melalui Staf Khususnya, Ulfah Mawardi, Kementerian PPPA turun ke Sulbar.
"Ini salah satu arahan bapak Presiden kepada Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA). Adalah penurunan angka perkawinan anak," kat Ulfah Mawardi di Mamuju, Selasa (18/10/2022)
Ulfah mengatakan, Kementerian PPPA menarget RPJM prevalensi pernikahan anak menjadi 8, 74% pada tahun 2024, kemudian di tahun 2022 target batas angka nasional 9,44.
Hadir mengikuti FGD Pencegahan dan Penanganan Perkawinan Anak di Propinsi Sulawesi Barat, Ulfah mengatakan, Sulbar menempati posisi tertinggi nasional angka perkawinan anak di tahun 2021 berdasarkan data Susenas BPS. Meski di tahun 2020 angka perkawinan anak di Sulbar sempat turun menempati urutan ketiga nasional.
"Persentase tahun 2020 yaitu 17, 12 persen, namun di tahun 2021 naik 0,59 persen menjadi 17, 71% dan menempatkan Sulbar kembali di posisi tertinggi angka perkawinan anak se-Indonesia," tutur Ulfah.
Melihat kondisi ini, Staf Khusus Kementerian PPPA Ulfah Mawardi mengajak para tokoh agama, tokoh masyarakat, ormas dan LSM peduli anak, forum anak, aktifis perempuan dan anak serta dinas dan instansi terkait, melaksanakan FGD, tujuannya untuk menggali akar masalah sehingga mendapatkan jalan terbaik dalam upaya pencegahan dan penganan perkawinan anak di Propinsi Sulawesi Barat.
Lebih lanjut, Ulfah menjelaskan, satu hal yang belum banyak diketahui masyarakat khususnya warga Sulbar adalah hadirnya UU No 16 tahun 2019 tentang batas usia perkawinan anak, baik laki-laki maupun perempuan itu berusia 19 tahun. Kehadiran KemenPPPA kata Ulfah, juga sekaligus sosialisasi mendorong agar parah tokoh agama, tokoh masyarakat dan pemerintah daerah memassifkan sosialisasi batas usia perkawinan. "Sehingga tidak terjadi pelanggaran hak anak karena menikah di usia anak, yaitu 18 tahun kebawah," terangnya.
Dikatakan, negara menjamin hak warga negara untuk membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah, menjamin hak anak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi sebagaimana diamanatkan dalam UUD 1945. Namun demi anak, perlu melakukan aktifitas pencegahan dengan terus-menerus mensosialisasikan bahwa perkawinan pada usia anak menimbulkan banyak dampak negatif bagi tumbuh kembang anak dan akan menyebabkan tidak terpenuhinya hak dasar anak, seperti hak pendidikan, kesehatan sebab anak yang menikah dini sangat rawan mengalami kanker serviks, masalah persalinan dan kesehatan ibu dan bayi terancam. Selain itu potensi anak stunting karena pemahaman dan kesiapan terkait reproduksi belum mereka pahami, belum lagi kondisi fisik dan pshikis yang belum matang jiwa raga untuk dapat melangsungkan perkawinan sehingga belum dapat mewujudkan tujuan perkawinan yakni membentuk rumah tangga yang bahagia dan keturunan yang berkualitas.
"Dalam aspek penanganan kita harapkan adanya bimbingan dan pendampingan pada anak-anak yang sudah terlanjur melakukan perkawinan di usia anak dengan menunda kehamilan, jika terlanjur hamil, menunda kehamilan kedua dan seterusnya, mengajarkan terkait kesehatan reproduksi dan memastikan hak atas pendidikan, tumbuh kembang dan kesehatan anak terjamin serta memberikan bekal skill keterampilan hidup dan penguatan ekonomi untuk dapat tetap tumbuh dan bedaya," urai Ulfah.
Kepala Dinas Pemeberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, Pengendalian Penduduk, dan Keluarga Berencana (P3AP2KB) Propinsi Sulawesi Barat, Djamila, yang turut hadir di kesempatan ini sangat mengapresiasi kegiatan yang dilakukan oleh KemenPPPA ini. Ia menyampikan bahwa, jika jalan sendiri-sendiri tidak mampu menurunkan angka perkawinan anak di Sulawesi Barat.
"Kita butuh kerja keras dan kerja bersama semua pihak terutama kepala desa dan imam desa, karena geografis di Sulbar sangat terbatas akses dan anggaran sehingga kami membutuhkan pro-aktif dan kesadaran perangkat desa yang ada di bawah untuk melakukan sosialisasi pencegahan perkawinan anak di tingkat RT dan RW," kata Djamila
Djamila mengungkap, kendala yang dialami juga oleh anak-anak Sulbar di desa terpencil, adalah akses pendidikan. Masih banyak daerah terutama di pulau yang tidak memiliki sarana pendidikan SMP dan SMA sehingga banyak orang tua menikahkan anak di usia dini sebagai pilihan.
"Hal inilah menjadi tugas kita untuk mengkoordinasikan dengan Dinas Pendidikan kedepannya agar bisa lebih merata akses pendidikan di Sulawesi Barat," ujar Kadis Djamila.
Kegiatan FGD yang digelar di salah satu hotel di Mamuju itu, diikuti perwakilan tokoh agama, tokoh masyarakat, Ormas dan LSM. Seperti Muhammadiyah-Aisyiyah, NU-Muslimat, Yayasana Kartini Manakarra, aktifis perempuan dan anak, forum anak. Selain itu perwakilan Puspaga serta Dinas PPPA Kabupaten se-Sulawesi Barat yang telah membantu suksesnya acara FGD ini.
Staf Khsus KemenPPPA Ulfah Mawardi mengaku sangat berterima kasih kepada seluruh peserta yang hadir, dan berharap kajian dan diskusi untuk mengurai dan mencari solusi pencegahan dan penanganan perkawinan anak di Sulawesi Barat terus berkembang.
"Semoga ini menjadi awal kerja nyata dalam membangun komitmen bersama seluruh komponen yang ada di Sulawesi Barat untuk zero toleran terhadap perkawinan anak sehingga dalam waktu yang relatif cepat akan terjadi penurunan angka perkawinan Anak di Bumi Malaqbi Sulawesi Barat," pungkas Ulfah. (Hr/Ril)