MAJENE, MASALEMBO.COM - Majene diambil dari bahasa manje’ne’ (berwudhu) yang merupakan perintah dalam syari’at islam bila hendak mengerjakan perintah shalat, pantaslah jika wilayah Kabupaten Majene dinamai Majene (Manje’ne’) karena masyarakat yang bermukim di kerajaan Sendana, kerajaan Pamboang dan kerajaan Banggae di zaman itu seratus persen memeluk agama islam atau dengan kata lain sudah manje’ne’ semua. Walaupun tidak diketahui secara pasti hari, tanggal, bulan dan tahun nama Majene menggantikan nama Banggae yang melekat dan digunakan di daerah ini. Banggae asal kata dari Banggae-Banggae di ujung Salabose.
Namun dalam lontar (Lontar Tappalang) menceritrakan bahwa pada hari senin, tanggal 31 oktober 1892, Gubernamen Nederlandscshe Indie berangkat ke Tappalang melalui Majene, Pamboang dan Tjendana. Dan didukung oleh satu tulisan dalam majalah “Bijhragen toot detail, landen volkenkuude van nederlands mandarsche indie dengan judul ortikel “Mededeelinsen Betteffende Einige Mandarsche Landscappen”. (Catatan-catatan tentang beberapa daerah Mandar) yang salah satu judul “Majene-Naska dari Leiden, tahun 1907; terjemahan Dr. Roberth L. Welsch, halaman 1). Maka dapat diperkirakan bahwa nama Majene sudah tersebar luas pada abad XIX Miladiyah.
Begitu pula awal nama kota Majene, tak ada yang tahu pasti siapa yang pertama kali memperkenalkan nama ini. Namun ada sebuah kisah rakyat : Bahwa dahulu kala ada orang pendatang, sebagian berpendapat adalah orang Belanda, ada juga yang bilang orang Melayu dari Saglog/Selat, yang datang berniaga di Banggae.
Orang itu bertanya kepada orang yang sedang berwudhu (Manje’ne’) apa nama daerah ini. Karena yang ditanya tak mengerti apa maksud penanya, namun satu kata diucapkan “MANJE’NE’ artinya berwudhu. Sang penanya pun menyimpulkan bahwa daerah ini bernama Majene, maka sejak itulah nama daerah Majene di kenal luas. Dan ketika koloni Belanda menguasai tanah Mandar, Kedaulatan Passemandaran – Pitu Ulunna Salu dan Piti Ba,bana Binanga dengan membentuk satu nama pemerintahan baru, Afdeling Mandar yang beribukota di Majene.
Kalau benar, kata Majene berarti berwudhu dan melekat menjadi nama daerah ini sejak tahun 1545 sebagaimana yang diceritakan dalam lontar Tallo (I Macang Keboka), “menyebutkan bahwa pada tahun 1545 raja Gowa yang ke IX, Daeng Matanre Karaeng Manguntungi “Tumaparissi Kallonna” (yang memerintah di tahun1512 – 1547) memerintahkan raja Tallo Ilanglenbumi (Mangkubumi kerajaan Gowa) Imappatakan Tana Karaeng Pattingalloang“Naongko Maeri Majeknek Na Nupa’jului Sa’ribattannu I Rawa Na Nuropui Tidunga“ artinya turunlah ke Majene bantu saudaramu di bawah dan hancurkanlah Tidung (pengacau dari luar). Maka ada benarnya bahwa di tahun 1545 penduduk di jazirah ini sudah sebagian besar Manje’ne’ (memeluk islam).
Ada juga pendapat lain yang mengatakan bahwa Majene berarti Berair, karena memang Banggae pada zaman itu cukup digenangi air, dan genangan air itu masih terasa sampai saat ini. Namun istilah Majene sudah melekat dan menjadi nama daerah ini sejak tahun 1545 dan dikenal dibeberapa kerajaan-kerajaan lain seperti dikenal di kerajaan Gowa.
Penulis berkesimpulan bahwa kata Majene bukan nama tempat, karena dalam wilayah kabupaten Majene tidak dijumpai satu tempat tertentu mulai dari Lutang diujung selatan kelurahan Tande kecamatan Banggae Timur sampai dengan ujung utara desa Maliaya kecamatan Malunda tidak ada satu kampung yang bernama Majene, tapi Majene merupakan nama sifat orang Majene yang sifatnya berwudhu/bersuci.
Dikutip dari jejak-jejak Mandar
(Galeri Mandar Indonesia)