Oleh: Syekh DR. H. Ilham Shaleh, M.Ag
(Pengasuh Ponpes Darul Ulum Al Asy Ariyyah KH. Muhammad Shaleh Majene)
“Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat); dan bertaqwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. Dan janganlah kamu seperti orang-orang yang lupa kepada Allah, lalu Allah menjadikan mereka lupa kepada diri mereka sendiri; mereka itulah orang-orang fasiq”
Penggalan ayat di atas terdapat pada Q.S. 59:18-19 yang menjelaskan akan pentingnya diri kita memperhatikan persiapan amal untuk bekal hari akhirat kelak karena jika tidak maka kita akan digolongkan sebagai orang yang lupa kepada Allah dan celakanya Allah akan membuat kita lupa diri.
Memperhatikan persiapan amal ini dalam pengistilahannya populer disebut dengan muhasabah yang menurut bahasa sering disepadankan dengan instrospeksi diri. Dalam tulisan singkat ini sedikit akan dibahas terkait muhasabah sebagai pintu muraqobah yang merupakan intisari dari dialog interaktif penulis di salah satu stasiun radio pada Ramadhan lalu.
Muhasabah adalah ibadah hati yang berarti dia tidak diamalkan oleh tubuh sebagaimana sholat, zakat, puasa, haji dan lain sebagainya. Walaupun demikian, hamba yang melazimkan dirinya bermuhasabah seringkali akan tampak pada apa yang dilakukannya. Sebagaimana yang dicontohkan oleh Rasulullah saw, suatu ketika beliau berada di tengah para sahabatnya kemudian berseru, “Wahai kaum Muslim. Demi Allah dan demi hakku atas kalian. Barangsiapa yang pernah aku zalimi tanpa sepengetahuanku, berdirilah dan balaslah kezalimanku itu, sebelum aku dibalas pada hari kiamat nanti.” Dimana akhir dari kisah ini memperkenalkan kita pada sahabat Rasulullah saw bernama Ukasyah bin Mihshan ra., yang berpura-pura menuntut balas pada Rasulullah saw padahal dia berniat memeluk erat tubuh Rasulullah saw.
Demikianlah keteladanan yang sangat agung dari manusia paling mulia dan mustahil berdosa serta berbuat zalim memberikan pelajaran kepada umatnya untuk bermuhasabah. Pelajaran misalnya agar penting bagi pemimpin ummat untuk menanyakan atas apa saja kezaliman yang telah dilakukannya selama memimpin, dan jika ada tentu hak ummat atas kezaliman tersebut wajib dituntaskan. Jika tidak tentu balasan dari Allah menanti bagi pelaku kezaliman. Jika Rasulullah saw yang tanpa dosa dan dijaga oleh Allah (maksum) saja masih merasa penting berlaku demikian, lantas lucu bagi kita jika masih ada pemimpin yang mengaku beriman pada hari pembalasan jika merasa tidak pernah zalim bahkan berusaha membungkam yang hendak mengingatkan jika dirinya bersalah.
Penting bagi kita melakukan muhasabah sebelum akhirnya kita dihisab, dengan tujuan agar kita melazimkan taubat dan terhijab dari ujub (bangga diri) atas pencapaian kita akan ilmu maupun amal kita. Adapun taubat penting dilazimkan bukan hanya bagi para pendosa bahkan para ahli ibadah, karena maksiat yang nyata bagi pendosa jelas sehingga mudah baginya bertaubat sedangkan maksiat bagi ahli ibadah samar dan kadang tersembunyi dalam ibadahnya dalam bentuk riya dan ujub. Sehingga dengan bermuhasabah kita akan mawas diri tidak hanya dengan dos akita tapi juga bahkan ibadah yang telah kita tunaikan.
Hanya saja, dalam bermuhasabah perlu dibatasi agar kita pun tidak lupa untuk bersyukur kepada Allah yang telah banyak memberikan juga kita kesempatan untuk taat. Bahkan bisa jadi, hamba akan merasa dirinya tidak layak mendapat kedudukan istimewa dari Allah sehingga akan mengantar pada lemahnya semangat beribadah karena bermuhasabah dengan cara yang salah. Misalnya seorang yang dulunya ahli maksiat kemudian diberi hidayah untuk bertaubat dan menjadi ahli ibadah. Kemudian karena salah dalam bermuhasabah justru mengantarkannya pada perasaan tidak pantas dengan kebiasaannya sekarang yang justru lebih banyak di majelis zikir dan ilmu karena masa lalunya dulu justru lebih banyak habis di tempat maksiat.
Dengan perasaan tidak pantasnya tersebut justru membuatnya kembali di masa lalu karena merasa dirinya tidak pantas berkumpul dengan para orang shaleh dan lebih pantas berkumpul di kebiasaannya yang lalu. Sehingga di sini perlu digaris bawahi batasan muhasabah adalah untuk menumbuhkan taubat, menghindarkan ujub dan menumbuhkan semangat untuk lebih banyak beribadah.
Terdapat kisah yang dialami oleh seorang Arifbillah melewati sekumpulan pemuda dengan kuda tunggangannya.
Salah satu pemuda lantas bertanya,”Wahai Syekh, mana yang lebih mulia antara dirimu dan kudamu?”
Normalnya pertanyaan demikian akan membuat kita tersinggung karena hendak membandingkan kita sebagai manusia dengan binatang. Hanya saja tidak bagi ulama tadi yang kemudian menjawab, “jika kakiku ini tidak dapat menyeberangi shiratal mustakim dengan selamat maka jelas kaki kudaku ini lebih mulia, karena tidak ada binatang yang akan dihisab dan masuk nerakaNya.”
Jawaban seperti ini jelas adalah jawaban yang lahir dari hati yang senantiasa mawas diri dengan amalnya dan senantiasa memperhatikan bekal akhiratnya atau muhasabah.
Penggalan kisah di atas juga menggambarkan bagaimana muhasabah sebagai ibadah hati terkadang juga dapat tampak dari keadaan lahiriah kita.
Salah satu buah dari muhasabah ini adalah senantiasa hati kita hadir bersama Allah, dalam terminologi umum dikenal dengan muraqobah. Muraqobah dimaknai sebagai kedudukan atau derajat ihsan yang senantiasa kita beribadah dengan hati yang hadir bersama Allah. Sebab tidak jarang tubuh kita sujud kepada Allah tapi hati kita justru jauh dari Allah. Baik muhasabah dan muraqobah keduanya adalah ibadah hati yang jika dilazimkan hati akan senantiasa tenang karena yakin akan jaminan dan penjagaan dari Allah.
Wallohu A’alam.