MAJENE, MASALEMBO.COM - Perempuan dan anak, memang menjadi pihak yang rentan saat bencana terjadi. Belum lagi banyak pernikahan dini di lokasi gempa di Sulawesi Barat. Ibu-ibu muda berusia 13-15 tahun yang sudah memiliki bayi dan balita, kebingungan saat bencana melanda.
“Kami sering didatangi ibu-ibu menggendong bayi. Mereka menempuh puluhan kilometer akses jalan yang rusak dengan sepeda motor untuk mengambil bantuan yang belum mereka dapatkan. Kami sebagai relawan berharap, ketika ada bantuan dari pemerintah tolong perhatikan kebutuhan untuk ibu dan anak. Paling tidak orang tua ngga pusing mencari minyak telon, ngga kebingungan mencari selimut untuk bayinya."
Itulah temuan Muhammad Ridwan Alimuddin, jurnalis yang juga relawan korban bencana di Mamuju, Sulawesi Barat.
Yang makin memprihatinkan, dua bayi meninggal dunia karena sakit di pengungsian. Nyawa mereka tak tertolong meski sudah dibawa ke rumah sakit.
Karmila Bakrie, relawan Sahabat Bencana di Majene, Sulawesi Barat, yang melaporkan langsung dari dusun Tamerimbi, Desa Kabiraan, Kecamatan Ulumanda, Majene, Sulawesi Barat menyebut masih ada 3 dusun yang terisolasi. Di dalamnya ada 31 bayi dan balita, 20 orang lanjut usia, 2 penyandang disabilitas dan 6 ibu hamil tanpa didampingi tenaga medis.
Relawan juga mengkritisi ketidak sesuaian data pemerintah soal korban bencana, padahal data menjadi acuan utama untuk menyalurkan bantuan.
Menanggapi laporan relawan yang melihat langsung kondisi pengungsi korban gempa utamanya perempuan dan anak. Kepala Pelaksana BPBD Sulawesi Barat Darno Majid, meminta relawan berkomunikasi dengan pemerintah daerah untuk mempercepat pergerakan distribusi bantuan di masa transisi menuju fase rehabilitasi.
Usman Suhuriah, wakil ketua DPRD Sulawesi Barat menyoroti data makro dan data spasial dalam bencana alam yang belum dimaksimalkan oleh pemerintah daerah. Padahal data menjadi upaya awal pemenuhan hak dasar untuk korban bencana dan fundamental untuk masuk ke tahap rehabilitasi, terlebih bencana alam masih mengintai masyarakat Indonesia yang hidup di wilayah Ring of Fire.
Penanganan korban bencana di Sulawesi Barat penting untuk jadi refleksi. Rita Pranawati, wakil ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia menyebut kebutuhan perempuan dan anak, serta pemenuhan kebutuhan sandang, pangan, papan dan kesehatan jadi hal fundamental yang harus dipenuhi pemerintah agar tak menjadi masalah sosial tambahan saat menangani bencana.
Sementara Badan Nasional Penanggulangan Bencana yang diwakili oleh Kapusdatin Raditya jati dalam diskusi Bersama Gen Indonesia, Sabtu, 6 Februari 2021 menyatakan perempuan dan anak selalu menjadi prioritas BNPB. Bantuan untuk wilayah terisolasi pun dimaksimalkan melalui jalur udara dengan bantuan TNI. BNPB juga menyadari ada tantangan untuk menggerakkan siaga bencana yang melibatkan perempuan yang harus digarap BNPB. Sejauh ini, BNPB memulainya dengan gerakan Srikandi Siaga Bencana dan Srikandi Sungai.
Geografis Indonesia membuat tak ada satu wilayahpun di tanah air yang tidak rawan bencana. Direktur Perlindungan Sosial Korban Bencana Alam Kementerian Sosial, M Syafii Nasution menjadikan bencana alam di Sulawesi Barat sebagai pelajaran bagaimana pemerintah, masyarakat, relawan dan pihak swasta saling membantu dengan menjalin komunikasi yang baik untuk membantu mempercepat proses ditribusi bantuan dan membuka akses wilayah terisolasi. Kementerian Sosial mengklaim mendirikan tenda ramah perempuan dan anak, dapur umum yang mencukupi, air bersih yang memadai dan ketersediaan toilet bergerak. salah satu lokasinya adalah stadion Manakarra, Mamuju, Sulawesi Barat. “Kalau dibilang pemerintah lambat menangani bencana, kami terus berupaya semakin baik. Karena beda bencananya beda pula penanganannya,” ujar Syafii.
Tak hanya pemenuhan kebuutuhan dasar, penanganan korban bencana di tengah pandemic Covid-19 juga menjadi sorotan dalam diskusi virtual yang mengambil tema Bangkit dari Bencana ini. Salah seorang peserta yang juga dokter dari Emergency Medical Team Ikatan Dokter Indonesia, dr. Tri Maharani menyebut dari hasil swab PCR menunjukkan peningkatan 70 persen kasus positif Covid-19 yang menjangkiti pengungsi dan relawan. “Kami melihat belum ada tenda ramah anak dan perempuan di wilayah terpencil. Padahal tak hanya tenda ramah anak dan perempuan saja, tapi juga tenda khusus isolasi pasien covid 19.”
Dari sudut pandang lebih luas, anggota DPR Komisi VII dari fraksi partai Golkar, Ace Hasan Syadzili mengapresiasi peran relawan yang menjadi modal sosial penanganan bencana. Komisi VIII meminta pemerintah tidak menyangkal temuan relawan di lapangan. “Laporan dari relawan harus dicek dan segera direspons, jangan ada masyaraat terdampak bencana yang tidak tersentuh bantuan”.
Diskusi yang diselenggarakan Gen Indonesi, perkumpulan Jurnalis dan aktivis, menghadirkan fakta dari lokasi bencana dan masukan dari warga Sulawesi Barat, untuk memberi rekomendasi dan masukan bagi pemerintah. Karena dalam Undang Undang nomor 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan bencana pasal 48 secara tegas menyatakan pemerintah wajib memberi pemenuhan kebutuhan dasar dan pelindungan kepada kelompok rentan yakni bayi, balita, ibu menyusui, lansia dan penyandang disabilitas.
Gen Indonesia adalah perkumpulan jurnalis dan aktivis yang hadir di era disrupsi informasi untuk menjembatani komunikasi antar stake holder. Visi Gen Indonesia adalah menumbuhkan kesadaran masyarakat yang beragam untuk hidup Bersama dengan penuh toleransi. (Rls/Red)