Polda: Ada Simpatisan Teroris
MAMUJU, MASALEMBO.COM - Forum Kewaspadaan Dini Masyarakat (FKDM) Sulawesi Barat menggelar diskusi secara virtual bertajuk "Terpaan Ekstrimisme dan Terorisme di Dunia Maya" Selasa 1 Desember 2020.
Dalam kegiatan tersebut, narasumber Iim Halimatussa'diyah dari PPIM UIN Syarif Hidayatullah Jakarta memaparkan sejumlah data terkait fenomena beragama di dunia maya.
Dari hasil riset PPIM UIN Syarif Hidayatullah menunjukkan adanya politik narasi keagamaan dan polarisasi di dunia maya. Menurutnya, kehadiran media sosial nyaris menjadi hal yang sangat dibutuhkan oleh manusia masa kini.
Dalam konteks keagamaan, media sosial bisa menjadi sarana sosialisasi. Termasuk berperan dalam diskursus agama atau paham keagamaan tertentu. Dengan merujuk pada teori yang dikemukakan oleh Tabaar, narasi keagamaan berubah dan dibentuk oleh kompetisi politik. Padahal selama ini dipahami, agama mampu memanfaatkan politik.
Jika dilihat dari spektrum keberagamaan, ditemukan tiga bentuk. Yakni Liberalisme, Konservatisme dan Moderatisme. Sementara dalam konteks polarisasi, ditemukan adanya pembelahan secara ekstrim dalam bentuk identifikasi retorika 'kita' dan 'mereka'.
Dalam data yang dipaparkan itu, sebanyak 67,2 persen konten narasi keagamaan konservatif. Sementara untuk narasi moderat masih menempati posisi dibawah. Yakni sebanyak 22,2 persen.
"Ini yang kita hadapi, kalau tidak setuju jihad berarti bukan pro Islam. Atau kalau tidak pro khilafah akan dianggap tidak membela Islam. Jadi selalu ada sosok kambing hitam untuk polarisasi massa," kata Iim Halimatussa'diyah dalam paparan risetnya.
Jika dilihat dari persebarannya, memang masih terkonsentrasi di wilayah Jawa. Untuk Sulawesi Barat sendiri, cenderung masih belum terpotret sebagai wilayah yang rawan narasi polarisasi agama. Namun secara nasional, ada kecenderungan irisan yang sama antara momentum politik dengan narasi keagamaan.
Sementara itu, Budayawan Mandar, Bustan Basir Maras mengungkapkan, ada kecenderungan para ulama terhisap dalam kesibukan-kesibukan politik. Para penjaga kehormatan mushalla, langgar dan ruang kebudayaan kemudian hilang.
"Nah, pada momentum inilah radikalisme masuk ke ruang ini. Banyak Taman Pendidikan Al-quran (TPA), pola ngaji berganti menjadi TPA. Pola masa kini dianggap sebagai implementasi modernitas. Dalam peristiwa perpindahan ini, disinilah sejumlah takmir masjid, TPA, anak-anak kemudian diajarkan dengan tema-tema radikalisme," urai Bustan.
Berbeda dengan peristiwa masa silam. Sebab di rumah guru ngaji diajarkan tentang kearifan. Sementara yang terjadi saat ini adalah transfer pengetahuan. Tidak ada lagi transfer energi keberkahan. Sehingga, ini penting untuk ditanamkan kembali.
Menurut Bustan, melemahnya budaya-agama saat ini karena mengalami kekalahan militansi. Baik di dunia maya, maupun di dunia nyata. Ini dapat dilakukan dengan menguatkan peran para tokoh ulama, guru ngaji di berbagai pelosok kampung.
Melalui webinar ini, Iim Halimatussa'diyah menyarankan agar terus dibuka ruang dialog yang egaliter satu sama lain. Serta terus-menerus mendorong sikap kepercayaan antara sesama anak bangsa.
Polda Sulbar: Perkuat Perbatasan
Direktur Intelkam Polda Sulawesi Barat, Iwan Surya Ananta mengungkapan, menjelang pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah di wilayah Sulawesi Barat, ditengarai adanya sejumlah simpatisan kelompok terorisme.
"Sehingga, menjelang pilkada dilakukan pengawasan ketat di wilayah perbatasan," terangnya.
Selain itu, pihaknya juga telah melakukan pembinaan terhadap mantan narapidana teroris. "Ini tidak sederhana. Sulit untuk dimatikan secara keseluruhan," tandas mantan Wadir Intelkam Polda Jawa Timur. (*)