Foto: H Subaidi Anggota DPRD Sumenep
Pewarta: Thofu
Sumenep, Masalembo.com - Problem anjloknya harga tembakau seolah sudah menjadi bencana tahunan yang selalu dihadapi petani tembakau setiap musim panen tiba, termasuk juga musim panen pada tahun 2020 ini, petani tembakau mulai resah karena sampai saat ini belum ada kepastian terkait harga. Padahal, sudah memasuki musim panen.
Keresahan petani itu terlihat saat beberapa petani melakukan audiesnsi dengan Komisi II DPRD Sumenep, Senin (24/08/2020).
Situasi yang dihadapi petani tembakau di Kabupaten Sumenep terkait tidak menentunya harga tembakau diperparah dengan tidak adanya regulasi yang dikeluarkan pemerintah pusat maupun daerah yang mengatur secara khusus tentang penentuan harga komoditas tembakau, padahal petani sekaligus sebagai pemilik atau penjual harusnya mampu berdaulat atas penentuan harga atas komoditasnya sendiri.
"Gak ada regulasi yang mengatur harga tembakau, karena tembakau masih diklasifikasiakan sebagai barang bebas yang tidak ada aturan harga dan Volumenya," kata H. Subaidi, anggota DPRD Sumenep sesaat setelah menerima petani tembakau digedung dewan setempat.
"Untuk garam dan tembakau terkait harga sampai hari ini tidak ada aturannya," katanya, Senin (24/8).
Ketika dikonfirmasi mengenai peran pemerintah Daerah Kabupaten Sumenep, didalam memberikan perlindungan terhadap petani tembakau dalam hal penentuan harga, anggota Komisi II DPRD Sumenep ini beralasan bahwa pemerintah daerah tidak bisa membuat sebuah regulasi karena memang tidak ada peraturan di atasnya sebagai dasar untuk membuat aturan terkait Penentuan harga tembakau yang selama ini menjadi keluhan.
"Jangan mudah mengatur regulasi yang tidak ada cantolannya diatasnya, " tandasnya
Kata dia, pemerintah daerah Kabupaten Sumenep hanya bisa meminta para pengusaha yang notabene menjadi pembeli tembakau petani untuk menggunakan hati nuraninya, sehingga dapat menaikkan harga tembakau di tingkatan petani, karena katanya kasian masyarakat.
"Ya kami meminta dan menekan pergudangan untuk membeli tembakau jangan terlalu murah, menggunakan hati nurani karena kasian masyarakat," lanjutnya.
Tentu hal ini menjadi kabar buruk dan masa depan yang suram bagi petani tembakau karena harapan satu-satunya untuk dapat berhadapan dan memaksa pengusaha atau pemodal dapat menaikkan harga dan menstabilkan harga tembakau rakyat. Padahal saat ini petani juga dihadapkan dalam situasi pandemi Covid-19 yang berdampak terhadap petani tembakau selain itu juga petani dihadapkan pada kebutuhan pokok yang terus meningkat
H Subaidi juga mengaku industri tembakau ini merupakan lingkaran setan, karena yang menentukan harga tembakau di pasaran adalah pembeli atau pemodal. Selain itu terkait dengan regulasi anggota Komisi II ini meminta untuk ditunjukkan peraturan di daerah lain yang mengatur tentang harga tembakau, karena kalau ada yang mengatur itu melanggar hirarki peraturan karena memang tidak memiliki dasar aturan diatasnya.
"Saya ingin tahu pemerintah mana yang menentukan harga termbakau, dan akan bertentangan kalau diatur di daerah terkait harga tembakau itu," tegasnya
Menurutntya, pemerintah sendiri tidak bisa menekan dan terkesan tak berdaya di hadapan pengusahan untuk menaikkan harga tembakau karena memang tidak ada aturan yang jelas terkait penentuan harga baik dari pusat sampai daerah.
Samapai saat ini kata dia, penentuan harga tembakau dilakukan melalui skema Break Event Point (BEP), skema BEP pada umumnya digunakan untuk menghitung kapan sebuah usaha/bisnis atau proyek akan menguntungkan dengan cara menyamakan total pendapatannya dengan total biaya. Skema ini merupakan bentuk kompromis, antara pengusaha, pemerintah dan pengusaha yang justru sering merugikan petani karena sering tidak melibatkan petani. (*)