SUMENEP, MASALEMBO.COM - Seorang janda tua (67 tahun) yang akrab dipanggil Mak Cinnong terancam kehilangan sumber penghidupan satu-satunya, yaitu sepetak tanah peninggalan mendiang suaminya, Badaruddin. Tanah itu dibeli Badaruddin dari mendiang Abd Kahar pada Oktober 1997 silam. Saat transaksi jual beli kala itu disaksikan oleh almarhum Abd Rahem selaku Kepala Desa.
Namun malang nasib Mak Cinnong yang kini hidup dengan cucu perempuan satu-satunya yang yatim piatu usai ditinggal ayahnya pada 2015 yang lalu. Mereka tinggal di sebuah rumah panggung yang sudah mulai menua di Dusun Ketapang RT 1 RW 1 Desa Masakambing, Kecamatan Pulau Masalembu, Sumenep, Madura Jawa Timur. Tak ada sumber penghasilan bagi mereka kecuali kebun di atas tanahnya yang kini terancam direbut orang lain.
Tanah yang selama ini menjadi sumber penghidupannya itu diklaim oleh tetangganya sendiri bernama Imron. Dia (Imron) tak lain adalah keponakan dari mendiang Abd Kahar yang mengaku memiliki seritifikat kepemilikan atas tanah tersebut.
Maka di tengah keterbatasan baca tulis dan awam dalam sengketa keperdataan, Mak Cinnong meminta bantuan kerabatnya Satria Samsetia Utama untuk menemani memperjuangkan hak atas tanah yang menjadi sandaran hidup satu-satunya di keluarga tersebut.
Satria Samsetia Utama, diteemui awak masalembo.com, Kamis (25/6/2020) menuturkan, sampai meninggalnya Abd Kahar dan suami Mak Cinnong yaitu Badaruddin tidak ada satupun yang melakukan gugatan keperdataan atas tanah yang selama ini pajaknya rutin dibayar oleh Mak Cinnong. Karena itu Satria mengaku heran.
"Sampek suami Mak Cinnong meninggal tidak ada gugatan apapun dari keuarga pemilik pertama (Abd Kahar, red)," ujar Satria, Kamis malam.
Entah kenapa, selepas meninggalnya suami dari Mak Cinnong klaim dari Imron datang. Awalnya ketika Mak Cinnong bermaksud menjual tanah peninggalan suami kepada seseorang bernama Mathudi. Tanah yang ditumbuhi sejumlah pohon kelapa dan cengkeh itu rencananya bakal dijual meski menjadi sumber pendapatan untuk kebutuhan sehari-harinya Mak Cinnong dan cucunya. Harus dijual guna mencukupi biaya sekolah cucunya yang ditinggalkan pergi ayahnya yang meninggal dunia sejak 2015.
"Saat ini hasil bumi tanah itu berupa kelapa dan cengkeh, diduga diserobot atau diambil oleh Imron,” ujar Satria lagi.
Di tengah kesulitan, Mak Cinnong yang sudah sudah mulai sakit-sakitan hendak menjual tanahnya peninggalan suami bernomor Kohir/Pepel 1686, No. Persil 113 IV, luas 1.340 meter persegi dan tanah bernomor Kohir/Pepel 1355, No. Persil 123 IV, luas 840 meter persegi. Saat ini letter C sudah atas nama almarhum Badaruddin, akan dijual terhadap Mathudi seharga Rp 60juta untuk biaya sehari-hari dan melanjutkan sekolah cucunya.
Namun naas buat Mak Cinnong belum juga mendapatkan uangnya pembeli sudah membatalkan niatnya. Hal ini terjadi dikarenakan pada bulan Maret 2020 lalu Imron bersama istrinya melaporkan Mak Cinnong ke Kepala Desa Masakambing atas dugaan penyerobotan tanah.
"Bulan Maret Mak Cinnong dipanggil Kepala Desa Masakambing untuk dilakukan mediasi di kantor desa atas sengketa keperdataan tersebut," ungkap Satria.
Uyung Warsito Kepala Desa Masakambing membenarkan pemanggilan Mak Cinnong dan Imron beserta istrinya guna dilakukan mediasi. Namun proses mediasi tersebut mengalami jalan buntu tanpa titik temu. Padahal pada saat itu Mak Cinnong membawa akta jual beli sedangkan Imron hanya mengaku memiliki sertifikat.
"Panggilan pertama, Imron dan Mak Cinnong sempat sama-sama hadir. Pada saat itu, keduanya sama-sama menunjukkan bukti kepemilikan tanah. Mak Cinnong membawa surat jual beli tanah yang ditandatangani penjual dan membeli serta diketahui Kepala Desa," ujar Uyung melalui saluran telepon, Kamis malam.
Tidak puas sampai disitu janda tua tersebut meminta Kepala Desa Masakambing untuk melakukan pengukuran tanah, berdasarkan akta jual belinya, namun Imron dan istrinya tidak memiliki i'tikad baik dan mangkir dari panggilan mediasi tersebut.
Disisi lain Satria mengaku heran atas sengketa yang dialami keluarganya tersebut, karena sengketa keperdataan itu baru diajukan Imron setelah para saksi jual beli sudah meninggal dunia. Satria juga mengaku pada saat mediasi pertama tidak melihat ketegasan dari Kepala Desa Masakambing yang membiarkan istri Imron menghina Mak Cinnong dengan nada kasar dan mengintimidasi.
"Kenapa baru setelah suami Mak Cinning, Pamannya dan Kepala Desa yang menajdi saksi kala itu meninggal semua baru dipersoalkan," kata Satria heran.
Tidak mendapatkan keadilan di tanah lelahirannya, Mak Cinnong kemudian nekat memboyong cucunya berlayar sejauh 5 mil untuk berjuang mendapatkan keadilan atas tanah yang menjadi penopang hidupnya selama ini. Ke Pemerintah Kecamatan Masalembu yang berbeda daratan dari Desa Masakambing Mak Cinnong membawa harapan ada kedermawaan kaum terpelajar bernama pemerintah.
Secara terpisah Camat Masalembu, Heru Cahyono, mengaku bahwa masalah tersebut belum bisa dimediasi. Setelah mentok upaya pihak desa, mediasi yang dilakukan pihak kecamatan juga tidak terwujud lantaran Imron tidak hadir dengan alasan yang tidak jelas.
Oleh sebab itu, pihaknya tidak bisa berbuat banyak atas masalah tersebut. “Pertama kades yang memanggil, kemudian saya yang panggil tapi pihak itu (Imron) tidak hadir juga,” kata Camat saat ditanya masalah Mak Cinnong.
Sampai Saat ini, titik terang keadilan perempuan tua dan cucu yang malang tersebut masih belum didapatkan. (*)
Pewarta: Khairullah Thofu
Editor: Harmegi Amin