JAKARTA, MASALEMBO.COM - Anggota Bawaslu RI, Ratna Dewi Pettalolo menilai, tiap pemilihan harus mencapai kualitas yang diharapkan. Itu dapat diukur dengan dua indikator yakni kualitas proses dan kualitas hasil.
Prosesnya harus bisa dipastikan tetap berada di koridor hukum dan taat pada asas pemilihan luber jurdil. Hasilnya harus bisa kita pastikan bahwa kepala daerah yang terpilih itu betul-betul dikehendaki rakyat.
"Pertanyaannya apakah dalam situasi seperti ini efektif kita melaksanakan pemilihan dengan berdasarkan pada aturan dan capaian," ujar Ratna.
Parameter regulasi yang digunakan saat untuk Pilkada yakni UU Nomor 10 Tahun 2016. Dibandingkan UU 7 Tahun 2017 tentang pemilu, sangat jauh perbedaan kualitas dari sisi fungsi dan kewenangan Bawaslu.
Misal penanganan pelanggaran administrasi hanya menghasilkan output berupa rekomendasi. Bukan lagi putusan seperti dalam UU 7 Tahun 2017.
Waktu penanganan pelanggaran pun sangat singkat yakni 3 hari plus 2 hari masa kerja. Berbeda dengan aturan UU 7/2017 yang memberikan waktu tujuh hari plus tujuh hari.
"Ini tentu akan sangat mempengaruhi efektivitas penanganan pelanggaran oleh Bawaslu dan jajarannya sampai tingkat bawah," katanya.
Masa pandemi, kata Ratna, dikhawatirkan pemilih akan semakin permisif atau bersifat terbuka terhadap politik uang. Mengingat situasi ekonomi yang tengah terpuruk dan banyak masyarakat yang kehilangan mata pencaharian.
"Ini tentu dikhawatirkan akan semakin meningkat angka politik uang," terangnya.
Ditambah lagi dengan sanksi politik uang yang diatur dalam pasal 187 a ayat 2, UU 10 Tahun 2016. Bukan hanya pemberi tapi penerima juga dapat dijatuhkan sanksi pidana. Itu dinilai akan mengurangi minat masyarakat untuk melaporkan dugaan pelanggaran money politic.
Lanjut Ratna, dikhawatirkan pula banyak terjadi penyalahgunaan kewenangan. Seperti politisasi bantuan sosial untuk kepentingan kontestasi.
Apalagi diprediksi 230 dari 270 daerah yang akan berpilkada akan diikuti calon petahana. Itu tentu ada peluang untuk menggunakan kewenangan atau kekuasaan memanfaatkan program pemerintah untuk kepentingan kontestasi.
Sampai hari ini kasus semacam itu belum bisa ditindaklanjuti. Sebab ketentuan pasal 71 ayat 3 terdapat syarat keadaan yang harus terpenuhi. Yakni tindakan kepala daerah harus bisa dibuktikan menguntungkan atau merugikan pasangan calon.
Permasalahannya, hingga kini pasangan calon belum ada kepastian. Lantaran KPU belum mengeluarkan PKPU tahapan yang baru.
"Ini akan menimbulkan kegamangan bagi kita semua," ujar mantan Ketua Bawaslu Sulawesi Tengah ini.
Persoalan lain, bagaimana efektivitas pelaksanaan sejumlah tahapan di masa pandemi. Misalnya tahap verifikasi pencalonan, coklit, kampanye hingga pemungutan dan penghitungan suara.
Perppu tidak mengatur perubahan atau norma baru dalam pelaksanaan tahapan tersebut. Makanya masih merujuk pada UU Nomor 10 Tahun 2016.
Verifikasi misalnya yang harus dilakukan secara sensus. Kampanye yang juga dilakukan dengan model konvensional sekalipun di buka ruang kampanye melalui media sosial.
"Pertanyaanya efektif tidak ini kampanye?," katanya.
Kata Ratna, kampanye merupakan media untuk menghubungkan dua kepentingan yakni pemilih dan yang akan dipilih atau calon.
Calon memanfaatkan kampanye untuk mempengaruhi pemilihan melalui pemaparan visi misi dan program. Pemilih juga harus diberikan ruang mendapatkan informasi itu secara komplit dan komprehensif sehingga bisa menentukan pilihannya.
Jika dalam kampanye dibatasi pertemuan secara fisik atau Physical Distancing apalagi dalam penerapan PSBB. Tentu sulit diwujudkan kampanye yang demokratis.
Belum lagi pungut hitung secara konvensional. Pemilih harus mendatangi TPS, tentu akan terjadi kerumunan.
Persoalan lain yakni sarana dan prasarana penunjang. Masa pandemi ini banyak digunakan media dalam jaringan (daring) sebagai sarana penunjang. Namun apakah hal itu efektif dilakukan, misalnya dalam peningkatan kapasitas jajaran.
"Kemarin Ketua KPU mengatakan akan melakukan coklit secara daring. Apakah ini bisa menjamin perlindungan hak pilih warga negara," urainya.
Anggaran juga kini banyak disoal di beberapa daerah. Sebab APBN hingga APBD difokuskan untuk penanganan pandemi. Sementara diproyeksi akan ada tambahan kebutuhan anggaran untuk perlindungan diri, terutama untuk penyelenggaraan.
"Tentu kita tidak ingin mengulang sejarah buruk Pemilihan 2019, banyak penyelenggara adhock meninggal karena kelelahan. Ini jangan sampai juga banyak yang meninggal karena terjangkit Covid-19," katanya.
Ratna menambahkan, partisipasi masyarakat dalam Pilkada juga harus menjadi perhatian. Masyarakat sebagai pemegang kedaulatan diharapkan menjadi bagian penting dalam menyelamatkan proses pemilihan.
Tidak ada yang menginginkan pemilihan di masa pandemi ini melahirkan pemimpin yang tidak amanah. Lantaran lahir dari sebuah proses yang curang, penuh politik uang, intimidasi, diwarnai mahar politik dan banyak penggunaan fasilitas negara.
"Nah partisipasi masyarakat menjadi kunci, mengawasi dan melaporkan," pungkasnya. (*)
Sumber: Rilis KPU RI
Editor: Harmegi Amin