Pisang Loka Pere (Foto: sulbar.litbang.pertanian.go.id)
MAJENE, MASALEMBO.COM - Tanaman endemik merupakan tumbuhan asli yang hanya bisa ditemukan di sebuah wilayah geografis tertentu dan tidak ditemukan di wilayah lain. Wilayah di sini dapat berupa pulau, negara, atau zona tertentu.
Seperti halnya loka pere, tumbuhan pisang jenis musa parasidiaca ini adalah tanaman endemik Sulbar, khas Majene. Memang, sedari dulu masyarakat Mandar sudah akrab dengan tanaman tersebut, bahkan loka pere menjadi bahan makanan khas tradisional suku Mandar loka anjoroi. Tak salah jika loka pere sebagai bahan pangan lokal yang dikenal orang Mandar sejak dahulu kala.
Dikutip dari website Badan Penelitian Pengembangan Pertanian (Balitbangtan) Provinsi Sulbar, loka pere ini merupakan salah satu sumber daya genetik tanaman di Majene. Namun sayang, keberadaan loka pere belakangan ini sangat sulit ditemukan. Sebabnya, petani tidak begitu memperhatikan sistem budidaya tanaman ini. Hal tersebut bisa terjadi karena belum adanya nilai ekonomi yang membedakan loka pere dari jenis pisang lain.
Meski sulit, namun tanaman pisang loka pere masih dapat kita temukan di Desa Adolang Dhua, Kecamatan Pamboang. Pisang loka pere ini merupakan pisang olahan (plantain), dan juga termasuk dalam musa acuminata karena bisa dikonsumsi sebagai buah segar.
Kelebihan jenis pisang ini buahnya enak, manis, tetap keras meskipun telah masak dan tahan disimpan lama. Pisang muda dapat direbus dan digoreng. Buah pisang baik yang masih mentah maupun yang sudah masak juga bisa diola menjadi berbagai jenis makanan ringan seperti loka pere nisattanni (pisang rebus yang diberi santan), pisang ijo, pisang goreng. Selain itu, batang pisang loka pere bisa dimanfaatkan untuk pakan ternak, daunnya sebagai pembungkus makanan dan bonggolnya bisa diola menjadi kripik bonggol pisang.
Loka pere pernah meraih juara 1 tingkat nasional mewakili Makassar (Sulawesi Barat masih masuk dalam Sulawesi Selatan) dan jenis pisang ini hanya terdapat di Kabupaten Majene. Potensi pengembangan pisang loka pere di Kabupaten Majene sangat besar.
Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Daerah (Balitbangda) Sulbar Jamil Barambangi saat mengikuti forum Fokus Group Discution (FGD) Pengembangan Tanaman Holtikultura di rung pola kantor bupati Majene, Kamis (18/10) mengatakan, keberadaan pisang loka pere sebagai sumber daya genetik Sulbar sejatinya menjadi perhatian Pemda. Selain karena bernilai ekonomi, juga syarat dengan kearifan lokal petani khususnya di Kabupaten Majene.
"Ini loka pere Pak Bupati tidak ada di daerah lain, bahkan ada lagunya, tapi jangan sampai tinggal lagu, lagunya masih ada tapi barangnya sudah tidak ada," kata Jamil.
Kepala Balitbangda Sulbar Jamil Barambangi dan Bupati H. Fahmi Massiara di pembukaan FGD Pengembangan Tanaman Holtikultura (Foto: Iskandar/Humas Setda Majene)
Selain loka pere, Jamil juga menyebut tanaman lasse bambang yang pernah familiar di tanah Mandar menjadi sulit ditemukan. Karena itu salah satu tujuan FGD yang diikuti stakeholder terkait di Majene akan melakukan kajian bagaimana mengembalikkan sejumlah varietas tanaman yang nyaris punah.
Jamil menyebut Majene berdasarkan letak geografis cukup berpotensi menjadi sentral pengembangan hortikultura di Provinsi Sulawesi Barat. Selain aspek geografis, iklim Majene juga disebut cocok untuk tanaman holtikultura.
"Saya melihat Majene ini potensinya sangat besar, apalagi diapit oleh dua pelabuhan di Polman dan juga Mamuju, di sini iklimnya cocok untuk holtikultura. Ini yang sementara akan dilakukan kajian dengan teman-teman dari Balai Pengembangan dan Penelitian Pertanian, tidak menutup kemungkinan kedepan Majene ini bisa mendrop sayur-sayuran ke Kalimantan. Ini saya bayangkan tidak perlu kita ke Jawa dulu cukup kita ke Kalimantan, kalau bisa disuplai sayur-sayuran ke Kalimantan saya kira hasilnya akan sangat luar biasa kepada petani kita," ucap Jamil.
Jamil menjelaskan forum FGD yang di gelar Balitbangda Sulbar di Majene, akan melahirkan rekomendasi untuk disampaikan kepada Pemkab Majene juga Pemprov Sulbar. Rekomendasi dimaksudkan sebagai bahan pertimbangan pengambilan kebijakan di masa depan khusus di sektor pertanian dan perkebunan. Menurutnya Jamil, Kabupaten Majene adalah daerah yang paling tepat untuk pengembangan hortikultura.
Bupati Fahmi Massiara yang menyampaikan sambutan sekaligus membuka kegiatan ini mengatakan, kegiatan ini sejalan dengan misi revolusi hijau yang dicanangkan Pemkab Majene. Revolusi hijau menurutnya adalah upaya pengembangan dan peningkatan produktivitas pertanian. Karena itu bupati menyampaikan apresiasi dan berharap FGD ini melahirkan rekomendasi strategis untuk mendukung misi Pemerintah Kabupaten Majene dalam sektor pertanian perkebunan dan pengembangan tanaman holtikultura.
Kendati demikian Fahmi berharap agar pihak-pihak terkait yang hadir juga turut serta dalam melakukan perubahan mindset petani di Majene. Menurutnya, cara pikir petani perlu dirubah agar lebih percaya diri dan lebih kreatif.
"Jadi jangan sampai petani kita yang menggeluti holtikultura tidak akrab dengan tanaman holtikultura, karena kenapa, kebiasaan petani kita di sini saya lihat, mereka menanam jangka panjang lalu ditinggalkan, ada yang pergi ke laut, pergi mengojek dan lain-lain bahkan ada yang pergi merantau, nanti kalau mau panen baru datang, kalau tanaman holtikultura diperlakukan begitu jangan harap akan ada hasil," kata Fahmi
Di hadapan para peserta FGD Fahmi menuturkan, pihaknya sejak satu tahun terakhir ini terus berupaya menggalang produktivitas pertanian dan perkebunan khususnya tanaman holtikultura. Beberapa komoditas yang telah dibudidayakan seperti bawang merah, jagung dan cabai. Kedepan ia berharap agar produksi tanaman holti di Majene dapat terus ditingkatkan.
Untuk diketahui FGD kali ini diikuti oleh sejumlah stakeholder terkait baik Pemprov Sulbar maupun Kabupaten Majene. Diantaranya yang hadir pihak Dinas Pertanian, Perkebunan, para penyuluh, kelompok tani dan Pemerintah Desa. (har/red)