Muh. Najib Amri*
SEBAGAIMANA diketahui dan kita sadari bahwa politik adalah pemberian legitimitas oleh banyak orang (rakyat) kepada seseorang atau sepasang orang. Legitimitas ini diberikan karena seseorang dinilai layak menjalankan kepemimpinan bagi orang banyak tersebut. Dan realitas politik negeri hari ini menampilkan bahwa politik adalah semata soal kesejahteraan rakyat secara ekonomi.
Legitimitas menjadi barang pertaruhan dalam politik. Ia bermain dalam ruang lingkup 'saling berharap'. Sang politisi memberi harapan, sedang rakyat berharap atau menaruh harapan pada politisi. Jembatan antara pemberi harapan dan penerima harapan adalah legitimitas yang ditentukan oleh pemilihan umum.
Mewujudkan harapan bagi politisi sendiri hanya mungkin apabila legitimitas sudah diperolehnya. Menepati harapan di sisi politisi merupakan fatamorgana belaka jika legitimitas tidak jatuh ke tangannya alias tidak terpilih pada pemilihan.
Apakah setelah terpilih lalu otomatis mewujudkan atau menepati janjinya? Ternyata tidak! Dengan kata lain, bahkan jika legitimitas itu sendiri pun sudah diperoleh para politisi, tidak sedikit juga yang ingkar. Sudah banyak cerita-cerita di masyarakat bahwa si politisi, misalnya, begitu luar biasa merakyatnya, sangat dekat dengan rakyat, sebelum terpilih. Bahkan merasa sebagai rakyat juga. Sebab belum ada jarak yang memisahkan antara mereka.
Namun setelah terpilih, setelah legitimitas didapatkan dari rakyat dalam bentuk suara terbanyak, arogansi mulai menghinggapi hatinya. Dirinya terasa sangat besar dan rakyat hanyalah akar rumput belaka. Mulai tidak mengenal orang-orang yang jumlahnya banyak yang telah memilihnya.
Hal ini berarti bahwa sebelum legitimitas diberikan oleh orang banyak itu, sang politisi tidaklah berarti apa-apa alias bukan siapa-siapa. Yang membuat mereka sombong nan arogan tak lain adalah pemerolehan legitimitas yang saat ini ditetapkan dalam jangka waktu tertentu. Sebelumnya mungkin saja mereka hanyalah orang tak berguna yang butuh pekerjaan. Sebab mengabdi kepada rakyat hanya bisa terwujudkan hanya jika mereka sudah memiliki jabatan. Betapa manja mereka ini. Jadi menjual harapan kepada rakyat demi mendapat pekerjaan elit untuk mempermainkan anggaran dengan mesra bersama kapitalis-kapitalis besar.
Legitimitas (kesahihan) bagai intan permata milik rakyat satu-satunya. Apabila legitimitas ini tetap dipegang teguh oleh rakyat dan tidak diberikan kepada seorang atau sepasang orang yang disebut politisi maka selama itu pula rakyat memiliki wibawa dan politisi tidak berarti apa-apa.
"Politisi tidak pernah percaya akan ucapan mereka sendiri. Karena itulah mereka sangat terkejut bila rakyat mempercayainya," kata Charles de Guello, negarawan Prancis.
Di manakah letak kedaulatan tertinggi bagi rakyat dalam demokrasi? Kenyataannya setelah pemilihan umum mereka pun harus kembali ke rutinitasnya yang serba sulit (tentu saja dalam kemiskinannya). Dan justru kondisi seperti ini dinikmati oleh para politisi bahkan mereka sendiri yang mensetting supaya rakyat tetap dalam ketergantungan terhadap mereka.
Dengan demikian kalau kedaulatan tertinggi memang di tangan rakyat, seharusnya rakyat bebas melakukan kudeta kapan pun mereka mau. Hal ini agar legitimitas bukan lagi menjadi barang yang problematis. Ketika itu terjadi, arogansi politisi akan hilang dari kepribadiannya dan selalu tunduk kepada rakyat karena mereka senantiasa dalam pengawasan sesungguhnya dari rakyat yang akan mengkudetanya kapan saja mereka mau.
*Lulusan Universitas Sulawesi Barat, Jurusan Pendidikan Bahasa Inggris.