Ilustrasi gizi buruk (ist/egi amin)
MAMUJU, MASALEMBO.COM - Kabar duka menyelimuti keluarga
Cahya Wulandari, Senin (3/9) lalu. Balita penderita hidrosefalus yang
tinggal di Kelapa Tujuh kota Kabupaten Mamuju itu, juga mengalami stunting (kurang gizi kronis). Menurut,
Rhena, aktivis Nasyiatul Aisyiah di Mamuju, Cahya meninggal dunia usai dirawat di salah satu Rumah Sakit di daerah ini, bahkan sempat dirujuk
ke Makassar Provinsi Sulawesi Selatan untuk berobat. “Sayang penanganannya sudah terlambat,” ucap Rhena.
Selain Cahya, Saparuddin juga divonis mengalami
stunting. Namun beruntung balita berumur 5 bulan yang tinggal di Kecamatan Simboro ini ditemukan Komisi
Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) saat berkunjung ke Mamuju, Selasa
(4/9). Atas bantuan KPAI dan Rhena, Saparuddin beserta kakaknya
yang juga mengalami kekurangan gizi akhirnya dapat memiliki kartu JKN-KIS lalu dirawat
di Rumah Sakit.
Catatan terakhir adalah kasus Hendrik (2 tahun). Putra
ketiga pasangan Mustari (28) dengan Rubiana (30) ini mengalami gangguan gizi. Warga
Dusun Saluleang, Desa Salletto, Kabupaten Mamuju ini sejatinya mampu berjalan
dan juga berbicara. Namun nyatanya yang tampak dia hanya bisa terdiam, duduk
dan berbaring. Kakinya lemah tak bisa menopang tubuhnya yang kurus. Tak
jarang ia merintih kesakitan. Dan adalah
AIPTU Hamid, petugas Bhabinkamtibmas setempat yang menemukan Hendrik di sebuah
gubuk bersama ibu dan tiga saudaranya, amat memprihatinkan.
Balita Hendrik (baju merah) ibunya Rubiana dan dua saudara kandungnya (ist/masalembo.com)
Sejumlah kasus di atas adalah fenomena yang terungkap dari masalah stunting, wasting dan
gizi buruk di Sulbar. Oleh Komisioner KPAI Sitti Hikmawatty terkait stunting di Mamuju, disebut mencapai angka cukup tinggi. Prevalensi 38,2 persen
dari standar toleransi WHO sebesar 20 persen pada penduduk umumnya. “Angka ini
masih lebih rendah dari rerata prevalensi stunting di Provinsi Sulawesi Barat
sebesar 40 persen,” ungkap Hikmawatty.
Catatan Hikma setelah berkeliling mengunjungi sejumlah
tempat dan penyandang stunting (anak tubuh pendek) dan wasting (anak tubuh
kurus) di Sulbar, rupaya ada indikasi pembiaran terhadap pemenuhan hak-hak gizi
anak. Karena fakta yang ia temukan akses anak ke pelayanan kesehatan kadang
masih sulit.
Salah satu temuan Hikma, terdapat keluarga balita stunting dan
wasting dalam mendapatkan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) terkendala kartu
identitas, KK dan KTP. Apalagi seperti kasus Saparuddin yang orang tuanya
menikah siri.
“Dari pasien atau korban tidak paham bagaimana harus
mengurus itu. Institusi-institusi terkait saya lihat sebenarnya memiliki
keinginan untuk membantu tetapi tertahan oleh pemahaman bahwa saya kan tugasnya
begini, saya tidak begitu,” ucap Hikma, ditemui wartawan masalembo.com di
kantor Dinas Sosial Mamuju, Selasa (4/9)
Dirinya berharap, pemerintah daerah baik Pemkab Mamuju
maupun Pemprov Sulbar membuka forum dialog lintas sektoral. Tujuannya agar
masalah stunting dapat “dikeroyok” instansi-instansi terkait yang memiliki
irisan dengan pemenuhan gizi bagi anak-anak. Pun pemerintah pusat, diharapkan aware terhadap masalah anak bangsa ini. “Masalahnya kan kompleks, kemiskinan, pendidikan, budaya,
maka stakeholders harusnya bersama-sama mengatasi. Tidak boleh ada ego sektoral
dalam menyelesaikannya,” ucap alumni Jurusan Ilmu Gizi Klinik Universitas
Indonesia ini.
Harapan Hikma sama dengan Dian Daniati, pengurus Non Goverment
Organization (NGO) Perempuan Kartini Manakarra Sulbar. Namun, Dian mengaku
tidak yakin hal itu segera terealisasi. Sebabnya bukan hanya sekali dua kali
pihaknya mengusul ke pemerintah agar stakeholder bahu-membahu mengurus masalah
besar anak-anak di provinsi ke 33 RI ini.
“Saya pernah mengusulkan kepada Dinas Kesehatan agar membuat
rencana aksi daerah pengentasan stunting dan gizi buruk. Semua OPD terlibat
bekerja secara terpadu, terutama program GSC (Generasi Sehat dan Cerdas), PKH
maupun dari Kemendes,” ucap Dian. Lanjut Dian, menemukan anak stunting, wasting maupun gizi
buruk tidaklah sulit. Sebab, ada Posyandu dan Puskesmas. “Kan setiap bulan ada
penimbangan, masalahnya apakah memang serius menangani atau tidak.”
Hasil penelusuran masalembo.com, didapati data laporan tahun
2017 Pemantauan Status Gizi (PSG) 34
Provinsi di Indonesia. Sulbar menurut data tersebut memang cukup
memprihatinkan, berada di urutan tertinggi kedua setelah Nusa Tenggara Timur
untuk angka stunting anak usia 0 sampai 23 bulan. Berikut data lengkapnya:
Untuk gizi buruk menurut data di atas (perhatikan yang warna
merah), Sulbar juga cukup tinggi 4,9 persen cukup jauh di atas angka nasional
3,5 persen. Beberapa provinsi yang lebih tinggi angka gizi buruk adalah NTT 6,8
persen, Papua 6,5 persen, Kalbar 6,2 persen, Gorontalo 5,5 persen dan Papua Barat 5,1
persen. Namun jika melihat angka gizi kurang (stunting dan wasting) anak balita
tidak menutup kemungkinan Sulbar akan berhadapan dengan masalah gizi buruk yang
serius. Berikut data gizi buruk dan gizi kurang enam kabupaten di
Provinsi Sulbar.
Dari data di atas, Kabupaten Mamuju Utara (Pasangkayu)
memiliki angka tertinggi kasus gizi buruk 9,3 persen, kemudian Majene 5,9
persen dan terendah Kabupaten Mamasa 2,1 persen. Sementara angka stunting
Mamuju Tengah 20,8 persen kemudian Polewali Mandar 15,5 persen.
Anggota DPR RI yang juga ketua PKK Sulbar
Andi Ruskati Ali Baal mengaku telah melakukan banyak upaya menekan angka
stunting, wasting dan kasus gizi buruk di Sulbar. Salah satu cara yang ia
tempuh adalah mengaktifkan penyuluhan melalui PKK. “Di PKK ada program namanya Dasa Wisma, melalui itu kita
sosialisasiikan ke masyarakat, ke ibu-ibu hamil, bahwa menjaga gizi bayi sejak
dalam kandungan hingga lahir dan tumbuh begitu sangat penting,” kata Ruskati
belum lama ini.
Ruskati membeberkan, PKK mulai dari desa atau kelurahan
hingga tingkat provinsi terus mendorong upaya perbaikan gizi anak-anak Sulbar
melalui sosialisasi. Minimal dua kali satu bulan, ibu hamil dan balita diajak
ke Puskesmas atau Posyandu untuk pemantauan gizi. Sedang ke dokter kandungan
bagi ibu hamil, minimal empat kali selama dalam usia kandungan.
Tak henti di situ, Politisi Gerindra yang juga istri
Gubernur Sulbar ini mengaku, turun langsung ke lapangan bersama instansi
Pemprov Sulbar yang terkait. “Kami sampaikan jika anaknya sudah lahir tolong
di-ASI (menyusui, red). Kemundian setelah lahir, di usia 6 bulan diberikan
makanan tambahan, 6 bulan sampai 2 tahun harus ASI ekslusif,” ujarnya
Ia mengklaim Pemerintah telah memberikan paket makanan
tambahan kepada balita, baik berupa susu maupun biskuit yang juga berfungsi
sama sebagai pemenuhan gizi anak. “Kemudian kami katakan harus ber KB supaya
tidak hamil lagi karena anaknya masih kecil. Kalau dapat biskuit dari
pemerintah tolong dikasih makan, jangan dibuang atau diberikan kepada tamu,”
katanya.
Ruskati menuturkan, dirinya dan instansi Pemprov telah
melakukan road show ke desa-desa dan kelurahan untuk sosialisasi program Dasa
Wisma PKK juga pentingnya mengontrol pemenuhan gizi anak. “Kita juga sampaikan
kepada anak-anak agar tidak menikah terlalu dini, saya bilang sekolah dulu,
jangan menikah meskipun sudah ada yang melamar,” ucapnya.
Langkah-langkah itu ia sebut tugas dan tanggung jawab dirinya
bukan hanya karena Ketua PKK Sulbar tapi juga karena anggota DPR RI dapil
Sulawesi Barat. “Kan tidak boleh toh dibiarkan, anggota DPR jangan hanya duduk
saja tapi harus turun ke lapangan,” katanya.
Sayangnya, apa yang disampaikan Andi Ruskati sepertinya
tidak disambut baik oleh masyarakat, setidaknya masih perlu dikaji ulang. Masalembo.com
sendiri mencoba meminta tanggapan publik terkait program Dasa Wisma PKK dengan
mengambil narasumber secara acak dan proporsional di enam kabupaten di Sulbar. Wawancara ini dilaksanakan mulai 1 hingga 20 September 2018 dengan teknik isian angket secara online dan juga tatap muka. Dari 20 orang yang
diambil keterangannya mulai dari ibu rumah tangga, aparat desa-kelurahan,
mahasiswa, dosen, LSM dan wartawan hingga pemerhati pendidikan dan kesehatan,
ternyata 70 persen mengatakan tidak melihat bahkan tidak tahu program Dasa
Wisma PKK. 90 persen dari mereka mengatakan tahu bahwa Sulbar memiliki angka
gizi buruk dan gizi kurang yang cukup tinggi. Kebanyakan dari mereka (50 persen)
mengetahui maslah gizi buruk terjadi di Kabupaten Polewali Mandar, selebihnya
Majene 15, Mamuju 15 persen dan semua kabupaten di Sulbar. Sangat disayangkan,
tidak banyak responden mendengar kasus gizi buruk di Mamuju Utara (Pasangkayu),
padahal angka gizi buruk Pasangkayu paling tinggi menurut laporan PSG Sulbar
2017. Menurut sumber media ini (enggan disebut namanya), referensi pengetahuan
masyarakat satu-satunya untuk kasus gizi buruk dan gizi kurang adalah media
massa, sementara perhatian media khusus gizi buruk di Pasangkayu, nyaris tidak
ada.
Sumber: Litbang masalembo.com
Pemerintah desa juga dianggap tidak bekerja dalam hal
pengentasan gizi buruk di Sulbar. Padahal, desa dan keluharan disebut Andi
Ruskati sebagai basis pemenuhan gizi anak-anak. Berikut tanggapan publik
Sulbar:
Sumber: Litbang masalembo.com
Sementara, Pemerintah Kabupaten dan Provinsi dinilai hampir
sama, masih sangat rendah memberikan perhatian terhadap masalah gizi buruk. Dari
hasil pengumpulan tanggapan masyarakat, hanya 35 persen mengatakan baik upaya
pemerintah setempat menghapus masalah gizi di Sulbar. Sedangkan 50 persen
mengatakan tidak peduli sisanya 15 persen tidak tahu. Apresiasi positif publik
hanya kepada petugas Puskesmas dan para medis. Berikut datanya.
Sekedar mengingatkan,
tahun 2016 lalu, Kabupaten Polewali Mandar disebut tertinggi angka gizi buruk.
Keterangan tersebut dibenarkan Kepala Dinas Kesehatan Sulbar Ahmad Azis
menanggapi dua kasus gizi buruk yang terjadi hampir bersamaan pada Oktober 2016
di Polman. Dua anak, yakni Nurmaya dari Tutar dan Mila Tiara dari Tanro Lima
Kelurahan Polewali divonis gizi buruk. Di Majene juga demikian, dua balita asal
Desa Kabiraan Kecamatan Ulumanda dinyatakan mengalami gizi buruk. Kini keduanya
dalam kondisi pertumbuhan normal. Kepala Desa Kabiraan Paharuddin kemudian
meraih penghargaan dari Pemkab Majene terkait penanganan gizi buruk.
Terkait perhatian media terhadap isu gizi buruk khususnya di Sulbar. Berikut adalah gambaran dari hasil tanggapan publik yang dikumpulkan masalembo.com
Dinkes: Tupoksi Kami
Hanya 30 Persen
Dinas Kesehatan Sulbar mengklaim telah memberikan perhatian
serius terhadap masalah stunting, wasting dan gizi buruk. Kepala Dinas
Kesehatan dr. Ahmad Azis mengatakan,
gambaran masalah ini, dari 10 anak balita di Sulbar, 4 diantaranya mengalami stunting.
“Jika ini dibiarkan, tidak menjadi perhatian kita semua, 5 sampai 10 tahun kedepan Sulbar loos generasi,” katanya. Hal ini menurutnya menjadi ancaman serius bagi masa depan Sulawesi Barat. Kadinkes Ahmad Azis mengatakan, "Orang Sulbar banyak yang berhasil, namun di masa depan dengan ada stunting ini menjadi ancaman serius."
Kepada wartawan Ahmad Azis mengaku, telah memberikan makanan tambahan kepada
anak-anak di seluruh kabupaten di Provinsi Sulawesi Barat. Makanan tambahan
berupa biskuit diberikan melalui Puskesmas. Pemberian makanan tambahan sebagai
upaya pemenuhan gizi anak-anak. “Kenapa biskuit, kan anak-anak, tapi
kandungannya sudah diatur (sesuai standar gizi),” terangnya.
Selain itu, Kandinkes melakukan edukasi kepada ibu hamil
melalui kader Puskesmas. Salah satu ajakan Dinkes meminta ibu hamil
mengkonsumsi makanan lokal dan mengkawal kandungan mulai dari awal kehamilan
hingga melahirkan.
Kendati serius
menukit masalah gizi anak-anak di Sulbar, dr. Ahmad Azis mengatakan tugas dan fungsi
Dinas Kesehatan terbatas. Bahkan ia menyebut, Dinkes hanya berperan 30 persen.
“Penanganan gizi hanya 30 persen oleh Dinas Kesehatan, 70 persen melekat di
instansi lain, ketahanan pangan, pertanian, BKKBN, perlindungan perempuan dan
anak,” ucapnya.
“Memang ini kerja-kerja bersama, ini yang mau digenjot,”
lanjutnya.
Per 18 September bulan ini, Kadinkes melakukan
pertemuan dua region, utara dan selatan. Region Utara yakni Kabupaten
Pasangkayu, Mamuju, Mateng. Sedang region selatan Majene, Polman dan Kabupaten Mamasa.
Forum ini kata Kadindes, akan membahas kelanjutan program penanganan stunting,
wasting dan gizi buruk.
"Forum sudah ada tapi tidak ada gunanya forum kalau forum
saja, 30 persen dinkes, 70 melekat pada instansi lain. Kalau kita di kesehatan nanti kalau sakit gilirannya kita, masalah pendidikan, pekerjaan, sanitasi, infrastruktur lain melekat di instansi lain. Mari kita bekerja sesuai tupoksi masing-masing," katanya
Kadinkes Ahmad mengatakan apresiasi kepada KPAI atas
rekomendasi forum lintas sektor. Bahkan kata Azis, saat ini sudah terbentuk
forum bersama OPD terkait. “Tapi apa gunanya forum kalau tidak
bekerja. Harusnya kerja-kerja bersama,
mari kita menggenjot stunting ini sesuai tupoksi masing-masing,” pungkas
Kadinkes Ahmad Azis. (*)
Penulis: Harmegi Amin
Editor: Tim Redaksi